Oleh:

Angka 2014 mungkin ”keramat”. Sebab, 2014 adalah tahun politik. Boleh juga menyebut tahun pemilu karena kita akan memilih 560 anggota parlemen dan 132 senator di Senayan pada 9 April nanti. Di daerah-daerah akan dipilih 2.137 anggota DPRD provinsi dan 17.560 anggota DPRD kabupaten/kota. Nasib mereka tergantung 181.139.037 rakyat yang tercatat dalam daftar pemilih tetap. Ada 12 partai politik plus 3 partai lokal di Aceh yang bakal bertarung di Pemilu 2014.

Tahun 2014 boleh juga disebut tahun pilpres karena kita akan mengganti presiden dan juga wapres pada 9 Juli nanti. Susilo Bambang Yudhoyono akan berhenti karena sudah dua kali berkuasa. Konstitusi sudah membatasi, presiden RI cuma dua periode. Hanya Soekarno yang ”seumur hidup” dan Soeharto yang tak turun- turun. Sejak reformasi, presiden dan juga kepala daerah dibatasi kekuasaannya. Maka, kursi yang akan ditinggalkan SBY pasti diincar banyak orang. Kegaduhan politik akan memuncak di tahun 2014.

Banyak orang beradu peruntungan lagi, termasuk mereka yang disebut-sebut bermasalah. Tokoh-tokoh yang gagal dalam pilpres tak kapok-kapok bertarung lagi di Pilpres 2014. Kekuasaan memang seperti magnet. Daya tariknya luar biasa. Kalau menyangkut syahwat kuasa, banyak yang lupa akal sehat. Apalagi di era demokrasi, semua orang merasa punya hak. Maka, demokrasi pun dimaknai begitu bebas.

Penguasa tak merasa bersalah jika membangun dinasti politik. Negara, termasuk daerah, dikapling-kapling seperti milik keluarga. Padahal, dinasti tidak kompatibel dengan demokrasi dan kultur modern. Penguasa atau elite tidak merasa berdosa bermain uang (money politics) agar terpilih. Penguasa tak merasa mengkhianati rakyat ketika menilap bantuan sosial, menyogok, atau berkongkalikong dengan pengusaha. Maka, di tahun 2014, pasti bukan hanya kompetisi, konflik politik seperti biasa terjadi, bisa-bisa akan kembali mencederai demokrasi.

Barangkali hanya di negeri ini politisi yang ditangkap KPK bisa mengumbar senyum sambil melambai-lambaikan tangannya. Mungkin cuma di negeri ini mengeruk uang rakyat melalui proyek-proyek negara dianggap bukan kejahatan. Bisa jadi hanya koruptor negeri ini yang bisa bebas keluar-masuk bui atau mendesain sel penjaranya menjadi kamar penuh hiasan layaknya di rumah sendiri. Mereka tak lagi punya malu walau rakyat pun sudah muak. Jangan-jangan label sebagai bangsa yang baik dan ramah hanya karakter yang dibayangkan (imagined character).

Politisi negeri ini memang beda dengan politisi Turki. Pada 25 Desember 2013, tiga menteri kabinet Recep Tayyip Erdogan mundur. Mereka adalah Mendagri Muammer Guler, Menteri Lingkungan Erdogan Bayraktar, dan Menteri Ekonomi Zafer Caglayan. Sampai mundur, mereka tidak terbukti korupsi. Namun, keluarga dan anak-anak mereka termasuk 24 tersangka kasus korupsi. Memang, Turki tengah melakukan penyelidikan korupsi besar-besaran. Mereka akan memangkas siapa saja, termasuk elite-elite yang keluarganya terjerat korupsi.

Namun, di negeri ini, mau mencopot Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah saja sulitnya bukan main. Padahal, Atut jelas-jelas tersangka kasus korupsi dan tak berdaya jadi tahanan KPK di penjara Pondok Bambu. Bupati Gunung Mas Hambit Bintih yang ditangkap KPK terkait kasus Akil Mochtar juga hampir dilantik kembali di penjara KPK. Kemendagri dan DPRD Gunung Mas punya alasan hendak melantik Hambit. UU memang mengatur pelantikan itu. Untung, KPK menolak memberi izin pelantikan di bui itu. Agenda besar bangsa, yakni pemberantasan korupsi, pun terselamatkan.

Memang tak ada yang salah, tetapi tak benar juga. Negara ini memang negara hukum. Namun, kalau mau jujur, hanya orang-orang kecil yang lebih banyak ”menaati” hukum. Orang- orang besar justru banyak mengakali agar lepas dari jerat hukum. Hukum terasa lebih tajam ke bawah tetapi majal ke atas. Padahal, hukum bukan hanya soal aturan, tetapi juga norma, etika, moral. Hukum bukan hanya soal kepastian, melainkan juga keadilan. Tertib hukum juga semestinya menjadi tertib sosial. Ah, berdebat soal hukum pasti tak habis-habisnya.

Mungkin menarik menyimak pandangan filsuf Thomas Aquinas (1225–1274). Ketika membahas etika politik dan hukum, Aquinas menyebut tiga macam hukum, yaitu hukum abadi (lex aeterna), hukum kodrati (lex naturalis), dan hukum manusia (lex humana). Singkatnya begini: hukum abadi adalah kebijakan sang pencipta; hukum kodrati bersandar pada semua tuntutan moral, hukum kodrati menuntut agar manusia hidup sesuai martabat; prinsip-prinsip itu diterapkan dalam hukum manusia. Aquinas menolak kekuasaan sebagai dasar hukum. Hukum yang bertentangan dengan hukum kodrat tidak memiliki status hukum. Malah merupakan penghancuran hukum (corruptio legis). Kata Aquinas, kekuasaan tidak bisa membenarkan dirinya sendiri.

Sekarang tahun 2014. Rakyat tak boleh terlena rayuan gombal. Pemimpin yang rindu kuasa kemungkinan lebih banyak menjagai posisinya. Semestinya para pemimpin mematri di hati masing-masing pesan Ali bin Abi Thalib (600-661). Sang Khalifah dengan tegas mengatakan, ”Pengkhianatan terbesar adalah pengkhianatan terhadap umat (rakyat). Dan penipuan paling kejam adalah yang dilakukan para pemimpin.”

Jadi, di 2014 ini jangan salah pilih. Salah memilih wakil rakyat, terlebih lagi keliru memilih presiden/wapres periode 2014-2019, itu artinya membiarkan bangsa ini terus gaduh dan terpuruk. Jangan lagi beri tempat mereka yang cuma ingat kekuasaannya, tetapi menanggalkan nurani, moral, dan tanggung jawabnya.

Sumber: Kompas 4 Januari 2014