Kebesaran Hati Buya Hamka

Minggu, 09 Februari 20140 komentar

Rasanya mata meleleh membaca kembali kebesaran hati Buya Hamka terhadap 3 tokoh bangsa yang pernah memusuhinya...

***

Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), pernah menahan Buya Hamka selama 2 tahun 4 bulan dengan tuduhan terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Beliau ditahan tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya juga dilarang untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara.

Setelah bebas dari penjara, Buya Hamka sudah mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal. Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit-sakitan, jelang akhir hayatnya menitipkan pesan untuk Buya Hamka lewat ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan tersebut berbunyi, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”

Pesan tersebut sampai kepada Buya Hamka seiring kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, beliau kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.

Pada era 1963-1965, Buya Hamka juga kerap mendapat fitnah dan diserang oleh Pramudya Ananta Toer melalui harian Bintang Timoer, media yang pro PKI. Melalui rubrik Lentera Hati. Pram menyebut Buya Hamba sebagai plagiat. Respons masyarakat justru sebaliknya, buku-buku Pram dilarang beredar, sebagian ada yang dibakar.

Apa tanggapan Buya Hamka terhadap hal ini? Di Taman Ismail Marzuki, Buya menyampaikan, tidak semestinya karya Pram dilarang dan dibakar. Menurut Buya, jika tidak menyukai sebuah buku, tulislah buku untuk menandinginya, bukan dengan membakarnya.

Terkait fitnah dan tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Buya menyatakan telah memaafkan Pram. Bagaimana tanggapan Pram? Tak ada pernyataan maaf yang disampaikan secara langsung atau diketahui publik. Tapi satu hal yang menarik, Pram justru meminta putrinya, Astuti, yang ingin menikah dengan seorang nonmuslim supaya belajar Islam kepada Hamka.

"Saya ingin putri saya yang muslimah bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka," kata Pram.

Mohammad Yamin, salah seorang founding father negeri ini juga termasuk tokoh yang berseberangan dan benci kepada Buya Hamka. Ia aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya aktif di Partai Masyumi. PNI menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, Buya Hamka berpidato menegaskan soal pendiriannya.

Yamin menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, baik ketika dalam ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan seminar. “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya,” begitu kata Buya Hamka.

Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media massa cetak. Hingga suatu hari, Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto meneleponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh kemudian mengatakan kepada Hamka, “Buya, saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau,” ujarnya.

Hamka yang tertegun kemudian bertanya, “Apa pesannya?” Sang menteri itu mengatakan, ”Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.” Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya.

Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah kemudian melamabaikan tangan. Hamka mendekatinya, kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikkan ke telinga Yamin surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid. Dengan suara lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa lama, tangannya terasa dingin.

Mohammad Yamin mengembuskan napas terakhirnya di samping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Memenuhi wasiat Yamin, Hamka pun kemudian turut mengantar jenazah Yamin ke pemakaman.

17 Februari 1908 adalah tanggal kelahiran HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).

~ Lembar khusus Islam Digest REPUBLIKA yang dikutip juga dari buku "Ayah" (Irfan Hamka)


Sumber: Facebook Rahmadiyanti Rusdi 9 Februari 2014
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786