Refleksi Brexit: Elegansi Politik Ekonomi Merkel

Senin, 25 Juli 20160 komentar

Eropa dulu dikenal murah hati soal program jaminan sosial. Pemerintah bertahun-tahun memanjakan para petani. Salah satu contoh adalah subsidi pertanian setara 250 miliar dollar AS per tahun. Ini dulu bisa dijalankan ketika pertumbuhan ekonomi sedang tinggi. Kini keadaan berbeda total. Menjelang akhir dekade 2000-an, pertumbuhan ekonomi Uni Eropa menurun, termasuk karena faktor demografi dengan penduduk menua. Tidak banyak lagi penerimaan negara dari pajak.

Namun, masalahnya, seperti dibuktikan secara empiris, pengeluaran tidak mudah diturunkan walau penerimaan menurun. Di sisi lain, rakyat termasuk petani memiliki kekuatan dalam pemilu. Tidak mudah bagi politisi mengabaikan faktor ini.

Adakalanya pemerintah terpaksa berbohong, seperti dilakukan Yunani. Utang negara ditutup-tutupi agar bisa meraih pinjaman demi memuaskan warga pemilih. Ini belum faktor korupsi dan efek negatif penggelapan pajak oleh warga kaya.

Pemerintah Eropa tak bisa lagi memanjakan masyarakat. Seretnya ekonomi dibuktikan dengan krisis besar pada 2009. Efeknya, di awal 2010, banyak pemerintahan jatuh. Pasar sudah lebih dulu meninggalkan Eropa yang terlilit utang tinggi.

Inilah awal persoalan lebih besar yang mencuat. Krisis keuangan negara menimpa Portugal, Irlandia, Spanyol, dan Yunani serta mengancam Perancis dan Italia. Inggris pun tidak aman terhadap krisis.

Ini memunculkan desakan tentang perlunya reformasi ekonomi dan program penghematan pemerintah demi menekan utang. Kepercayaan pasar harus dikembalikan.

Jerman adalah pemimpin de facto di Eropa soal ini karena perekonomiannya paling solid. Kanselir Jerman Angela Merkel di sisi lain adalah politisi yang tidak semata memimpin demi kelanggengan kekuasaan, tetapi juga perbaikan ekonomi jangka panjang.

Program penghematan

Negara-negara krisis di Eropa tidak ada pilihan selain menjalankan program penghematan. Amerika Serikat pun sudah lebih dulu didera krisis, demikian juga Dana Moneter Internasional (IMF) tidak sekuat zaman dulu.

Hal ini mulai menimbulkan kegelisahan di Eropa. Reformasi dan program penghematan pemerintah memberi efek derita secara ekonomi. Mereka ingin terus dibuai. Apa daya, uang negara tak banyak lagi.

Maka, di awal 2010-an makin merebaklah kelompok euro sceptics hingga anti Uni Eropa (UE). Ketua Partai Independen Inggris Nigel Farage mengatakan, "UE gagal dan UE sedang mati."
Para politisi oportunis pun menyuarakan pentingnya kelonggaran penghematan pemerintah yang telah mendera banyak negara dan rakyat. "Eropa akan kuat hanya jika pemerintahan bisa memberi jawaban atas banyak isu," kata Perdana Menteri (PM) Hongaria Viktor Orban. "UE telah gagal memberi jawaban," katanya seusai referendum British Exit (Brexit).

Ini meretakkan kesatuan yang berakar dari krisis ekonomi. "Masalah di Eropa selama ini adalah soal kesatuan," kata ekonom dari London School of Economics, Tim Oliver.

Intinya, ada tekanan implisit kepada Jerman agar melonggar. Sebagian besar publik Jerman-negara yang paling banyak berperan memberi bantuan dana talangan kepada negara-negara krisis-memprotes kelonggaran pengeluaran pemerintah.

Jerman tidak mau mendengar sehingga makin kencang penentang UE dan rakyat makin gelisah. Inggris didera hal serupa hingga mengancam mantan PM Inggris David Cameron yang kemudian menjanjikan referendum Brexit dan kecolongan pada 23 Juni lalu.

Kehilangan Inggris makin memunculkan lagi seruan agar Jerman melonggarkan sikap sehingga tidak memunculkan efek domino setelah Brexit.

Di sisi lain muncul sikap keras agar Inggris dikenai ketegasan karena dianggap mengganggu status quo UE. Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker termasuk yang pertama mengatakan agar Inggris segera menyusun langkah pemisahan dari UE meski muncul protes dari rakyat usia muda Inggris supaya Brexit dibatalkan.

Taktis

UE seperti "retak". Pada titik ini, Merkel sangat taktis. Merkel menyerukan agar sikap keras jangan diutamakan. Dia didengar. Merkel menunjukkan sikap lunak, tetapi dia katakan tak mungkin juga Inggris membiarkan ketidakpastian berlarut-larut.

Merkel bersikap elegan. Mantan Kanselir Helmut Kohl mendukung sikapnya. Mereka pun melihat Inggris sebagai negara besar secara ekonomi dan mitra besar dagang Jerman. Dia memegang sebuah traktat UE yang menekankan solidaritas.

Di sisi lain, PM Inggris Theresa May menjanjikan akan melakukan hal terbaik. Meski Inggris keluar, ada banyak celah untuk tetap berkolaborasi. "Brexit adalah Brexit, tetapi kami ingin melakukan hal terbaik," kata May.

Sebanyak 300 akademisi Jerman menyurati Merkel agar menghargai banyak warga Inggris yang menolak Brexit. Merkel mendengar seruan tertulis ini.

Merkel tentu tidak mundur soal pentingnya disiplin ekonomi dan tidak mundur pada tekanan. Dia
pernah mengatakan, "Pahit memang sebuah disiplin ekonomi, tetapi perlahan akan membawa kembali kejayaan UE."

Merkel membuktikan diri sebagai politisi pemimpin bukan saja di negaranya, melainkan juga di kawasan.

Brexit memang masalah. Akan tetapi, jika UE tanpa Inggris tetap bisa berkolaborasi dengan Inggris, ada efek negatif besar yang bisa dihindarkan, yakni kemerosotan ekonomi kawasan secara drastis. (REUTERS/AP/AFP)

SIMON SARAGIH

Sumber: Kompas, 24 Juli 2016

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786