Jumat (15/7) malam, dunia dikejutkan oleh berita dari Turki tentang 
upaya percobaan kudeta yang gagal oleh beberapa satuan militer terhadap 
pemerintah Presiden Recep Tayyip Erdogan. Dalam pernyataan pertamanya 
kepada publik, Erdogan tak ragu-ragu langsung menuduh gerakan negara 
tandingan (parallel state) berada di balik upaya percobaan kudeta yang 
gagal itu.
Gerakan negara tandingan adalah sebutan untuk lawan politik atau 
musuh bebuyutan Erdogan saat ini, yaitu ulama karismatis Turki yang kini
 berdomisili   di Pennsylvania, AS, Fethullah Gulen (75).
Media Turki menyebut, upaya  percobaan kudeta yang gagal itu adalah bagian dari proxy war
 antara Erdogan dan Gulen pada semua lini di Turki dalam beberapa tahun 
terakhir ini. Gulen adalah ulama paling berpengaruh dan paling banyak 
pengikutnya di Turki. Bagi Erdogan, Fethullah Gulen adalah lawan kelas 
berat.
Disebut gerakan negara tandingan karena gerakan Gulen 
memang terakhir ini tercium mengembangkan pengaruh di semua lini di 
Turki, termasuk di lembaga negara, seperti militer, kepolisian, dan 
peradilan. Pengaruh gerakan Gulen disinyalir mencapai tingkat mengancam 
kedaulatan negara Turki, atau disebut negara dalam negara.  Gulen 
membantah keras terlibat dalam percobaan kudeta itu. 
Perseteruan Erdogan-Gulen saat ini adalah merupakan perseteruan paling 
rumit dan kompleks karena juga terjadi di tubuh lembaga-lembaga negara. 
Erdogan sering menyebut, menghadapi Gulen lebih rumit dibanding 
menghadapi Partai Pekerja Kurdistan (PKK).  
Konflik Erdogan 
dengan Gulen, yang merupakan sahabat lamanya, mulai mencuat tahun  2010.
 Saat itu, konflik dua sahabat lama itu dipicu oleh aksi Gulen 
mengkritik keras pemerintah Erdogan yang mendukung pengiriman kapal Mavi
 Marmara untuk menembus blokade Jalur Gaza pada tahun 2010. 
Jamaah
 Fethullah Gulen, yang didirikan  1970 di kota pantai Izmir, semula 
fokus pada sosial pendidikan. Gulen  membangun jaringan sekolah di Turki
 dan manca, seperti  Asia Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara. 
Puncak
 kejayaan Fethullah Gulen terjadi pasca kudeta militer tahun 1980. Gulen
 saat itu mendapat dukungan penuh pemerintah junta militer untuk terus 
mengembangkan sayap pengaruh di Turki dan luar negeri. 
Gulen kini
 tercatat telah memiliki lebih dari 1.500 lembaga pendidikan dari semua 
tingkatan dan 15 perguruan tinggi yang tersebar di sekitar 140 negara.
Jamaah Gulen pun menjelma menjadi konglomerasi yang merambah berbagai bidang, seperti ekonomi dan media. 
Di
 bidang media, Gulen memiliki kantor berita Cihan, Samanyolu Media Group
 yang membawahkan enam stasiun televisi dan tiga radio di Turki, serta 
koran harian Zaman dan Zaman Today versi bahasa Inggris.
Di
 sektor ekonomi, Gulen memiliki Bank Asia. Bahkan,  pengikut dan 
simpatisan Gulen menyebar dan mengontrol lembaga negara, seperti 
militer, kepolisian, peradilan, dan birokrasi. 
          Meskipun
 Jamaah Fethullah Gulen secara resmi berorientasi pada sosial keagamaan,
 dalam keseharian jaringan Fethullah Gulen melakukan politik praktis. 
Jaringan
 Fethullah Gulen melalui media dan birokrasi  sering mengkritik  
Erdogan, dan bahkan menggerogoti pemerintah Erdogan dari dalam birokrasi
 negara. 
Bahkan, jaringan Gulen menggunakan alat penyadap untuk 
merekam segala perilaku pemerintah Erdogan di semua jajaran birokrasi. 
Aksi jaringan Gulen itu membuat heboh Turki, ketika  menyadap percakapan
 prektik korupsi yang melibatkan petinggi partai Keadilan dan 
Pembangunan (AKP) dalam pemerintahan pada akhir tahun 2013. Putra 
Erdogan, Bilal, ikut tersadap dalam praktik korupsi itu.
Pemerintah
 Erdogan mengategorikan Jamaah Fethullah Gulen sebagai organisasi 
teroris. Itulah gambaran sengitnya pertarungan Erdogan-Gulen yang 
melibatkan pengikut masing-masing di tubuh militer berpuncak dalam  
upaya percobaan kudeta itu.
Sumber: Kompas, 17 Juli 2016 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Posting Komentar