TIDAK PERNAH PUNYA PEMBANTU
Oleh Defil
(Wartawan Muda)
MASIH kuliah S1 di Universitas Indonesia (UI) 1985 lalu, Irwan
Prayitno sudah menikah. Tepatnya sekitar 31 tahun yang lalu, di usianya
yang ke-22, dia mempersunting seorang wanita bernama Nevi Zuairina.
Seorang gadis yang juga mahasiswi di kampus tersebut. Dia mahasiswi
semester tiga.
Hampir setahun kemudian, masih kuliah juga, Irwan dikaruniai seorang
anak. Sejak itulah dia harus berpikir lebih keras bagaimana mencari
nafkah. Semua peluang dimaksimalkan. Mulai dari mengajar SMA-SMA swasta
hingga berdakwah dari masjid ke masjid.
Pada 1988 setelah tamat kuliah dia istri serta anak pindah ke Padang,
mulai merintis Yayasan Pendidikan Adzkia. Awalnya cuma berupa lembaga
kursus. Lama-lama berkembang dan membuka taman kanak-kanak, dan
perguruan tinggi. Karena lama membina mengembangkan yayasan, membuat dia
semakin mapan, 1995 Irwan melanjutkan kuliah S2 dan S3 di Universitas
Putra Malaysia (UPM) Selangor. Anak dan istri juga dibawa.
Dia juga mengajar di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Seiring
berjalan menulis banyak buku. Meraih gelar profesor. Pada 1999 Irwan
jadi anggota DPR tiga periode. Periode ketiga dia cuma setahun karena
terpilih menjadi gubernur. Sekarang jabatan gubernurnya sudah periode
kedua.
Hidup Irwan Prayitno, berpindah-pindah. Sibuk luar biasa. Namun
demikian, sepuluh anaknya hafiz semua dan berhasil menduduki bangku
perguruan tinggi ternama di Indonesia bahkan di luar negeri.
Bagaimana Irwan Mendidik Anaknya?
Pada Senin (4/4) Singgalang datang ke gubernuran (rumah dinas) di
Jalan Sudirman, Padang. Memenuhi kesepakatan bertemu yang telah
direncanakan lima hari sebelumnya. Begitu benarlah kalau ingin bertemu
dengan gubernur, harus membuat janji jauh-jauh hari. Maklum, sibuk.
Sering dinas ke daerah-daerah.
Sesampai di gubernuran sekitar pukul 14.55 WIB, terlihat banyak tamu
menunggu. Sebagian ada yang duduk di kursi, sebagian lagi berdiri. Ada
juga yang sambil merokok di jenjang teras.
Menurut ajudan, gubernur Irwan Prayitno sedang melakukan pertemuan dengan Wakil Gubernur Nasrul Abit.
Kesepakatan awal bertemu pukul 15.00 menjadi molor. Azan pertanda
masuk shalat Ashar sudah terdengar tapi antrian bertemu gubernur masih
ada. Setelah shalat Ashar, barulah Singgalang mendapatkan giliran,
sebagai tamu terakhir.
“Jangan lama-lama ya, soalnya saya mau pergi,” kata Irwan. Sebelumnya
ajudan memang sudah memberi tahu Irwan akan pergi ke Bukittinggi. Mobil
pengawal sudah terparkir di halaman, samping mobil Fortuner BA 1.
Pertanyaan dimulai dari bagaimana caranya mendidik anak-anak, tanpa
pembantu, di tengah rutinitasnya yang begitu sibuk. Kuliah sambil
bekerja, mendirikan yayasan, melanjutkan pendidikan, jadi dosen, jadi
anggota dewan, hingga menjadi gubernur. Bahkan ketika sedang kuliah S2
dan S3 di Malaysia dia sudah memiliki lima anak, tapi sempat juga
berdakwah ke London, Inggris. Tugas-tugas perkuliahan dikerjakan di
perjalanan, dalam mobil, pesawat dan kereta api.
“Yang penting itu orang tua harus punya rasa tanggung jawab kepada
anaknya. Rasa tanggungjawab itu diwujudkan dalam bentuk kepedulian,”
tutur Irwan asli Taratak Paneh, Kecamatan Kuranji, Padang itu.
Sesibuk-sibuk apapun orang tua, karena dalam dirinya punya
tanggungjawab, pasti dia peduli dengan anaknya. “Menyisihkan waktu untuk
ketemu, untuk menelepon, dan SMS, untuk bersamanya. Sesibuk-sibuk
apapun,” katanya.
Orang sibuk itu pasti punya rumah tempat dia kembali, istirahat dan
berkumpul bersama keluarga. Walau pulang sudah larut malam, kemudian
anak-anak sudah tidur, pasti subuh mereka sudah bangun.
Mereka masih di rumah, sebelum berangkat sekolah. “Kita kan juga ada
di rumah. Pasti ketemu tiap hari. Kalau pun dinas ke luar daerah seperti
ke Jakarta kan tidak tiap hari,” katanya.
Bangun tidur itu, setelah shalat subuh berjemaah, bisa
berbincang-bincang dengan anak. “Kasih nasihat, ya ngobrol apa saja,
tentang sekolah dan lainnya,” ujarnya.
Pulang malam juga tidak tiap hari. Kadang sore juga sudah pulang,
ketemu juga dengan anak. Jadi, kalau orang bertanggungjawab pas-ti ada
pikiran terhadap anak.
“Anak saya di Jakarta. Seminggu sekali saya tugas ke Jakarta. Tidak
mungkin dari pagi, siang, hingga malam rapat bersama menteri. Pas malam
kan bubar. Saya telepon anak untuk makan malam. Ketemu, ngobrol agak
sejam,” katanya.
Itu baru di segi waktu fisik saja, sambung Irwan, sekarang teknologi
komunikasi sudah canggih. Sudah ada aplikasi Whatsapp (WA) di HP. “Habis
ini saya ingin naik mobil ke Bukittinggi. Dalam perjalanan kalau tidak
menelepon, pasti buka WA. Ya udah komunikasi. Jadi setiap saat saya tahu
di mana kesepuluh anak saya itu berada, lagi ngapain,” katanya.
“Urusan dengan ibunya ada pula. Kalau urusan minta-minta uang itu
sama saya. Uang jajan, uang harian, begitu pun dengan minta isikan
pulsa, dan lainnya. Komunikasi terus. pas komunikasi itu nanti masuk
pesan, nasehat, jadi terkontrol semua anak-anak saya,” ujarnya.
“Saya punya anak sepuluh yang sudah nikah tiga. Ada yang di UI, IPB
lagi ngapain, ada yang kehilangan dompetnya. Yang di UI baru selesai
Sabtu lalu, yang di IPB baru ujian tengah semester, yang ekonomi lagi
magang, tadi pagi yang SMA kelas tiga dengah ujian,” katanya.
Sepuluh anaknya yakni Jundi Fadhlillah pernah kuliah Fakultas Ekonomi
Universitas Andalas, Jurusan Manajemen dan di Southern New Hampshire
University, US.
Kedua, Waviatul Ahdi di Fakultas Kedokteran Gigi UI. Ketiga, Dhiya’u Syahidah di SBM ITB, Westminster University, UK.
Keempat, Anwar Jundi kuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB.
Kelima, Atika kuliah di FE UI. Enam, Ibrahim kuliah di Jurusan Teknik
Kimia UI. Tujuh, Shohwatul Islah di SMA 1 Padang. Delapan, Farhana di
SMA 1 Padang. Sembilan, Laili Tanzila di SMPIT Adzkia. Sepuluh, Taqiya
Mafaza di SDIT Adzkia.
Pendidikan Agama
Bagi Irwan dalam mendidik anak itu cuma satu yaitu agamanya. Kalau sudah agamanya dididik, sudah aman, Insya Allah.
“Shalatnya, baca alqurannya, belajar agamanya, ya udah, itu aja.
Makanya anak saya ketika di pendidikan dasar dan menengah di pesantren
semua,” ujarnya.
Dengan tahu agama mereka jadi baik kepada orang tua. Mereka tahu cara
belajar dengan sungguh-sungguh. “Jadi tidak perlu diatur,
disuruh-suruh, nggak macam-macam, nggak nakal-nakal. Karena agama
semua,” ujarnya.
Hafiz, itu adalah karena sekolahnya. Tapi hafiznya tidak 30 juz. cuma
dua, hingga empat juz. “Karena di sekolah mereka punya target. Kita
cuma tinggal memotivasi, ayo setiap subuh baca Al quran, setelah magrib
baca alquran. Yang penting kita nyontohin, kita baca Al quran juga nanti
mereka ngikutin,” ujarnya.
Istrinya Nevi sampai anak ketujuh murni ibu rumah tangga. Sejak anak
kedelapan, sembilan, sepuluh, mulai bisnis. “Ketika yang paling kecil
sudah masuk TK, ya ibunya buka restoran enam biji, minimarket lima buah,
ada bisnis properti. Ada banyak usahanya, macam-macam,” ujar Irwan.
Mencuci baju
Dalam mendidik anak, Irwan tidak ada mengenal kata susah. Susah dan
tidak susah itu berasal dari diri sendiri, bukan pada anak-anak. “Kalau
diri sudah mengatakan susah, semuanya susah. Hujan kalau hati susah,
susah juga. Panas susah saja. Sebaliknya kalau kita menganggap hujan
senang, panas senang, kan tidak ada yang susah,” katanya.
Misalnya anak nangis, kalau hati mengatakan susah, ya susah juga.
“Tapi kalau saya anak menangis, senang. Alhamdulillah. Ndak apa-apa
nangis, namanya anak-anak, biasa. Kalau orang besar nangis itu baru
masalah. Kalau kita nggak ikhlas punya anak ya susah semua,” katanya.
Semua dilakukan bersama istri. Tidak mungkin sendirian, soalnya tidak
ada pembantu. “Minimal saya cuci baju, istri saya memasak. Antar jemput
sekolah saya. Ketika sudah di DPR baru pakai sopir. Tapi sebelum di
DPR, di sini (Padang) saya antar jemput anak sekolah. Pakai motor atau
mobil,” katanya.
Setelah panjang wawancara, jam sudah menunjukkan pukul 16.10 WIB.
“Apalagi, cukup?” kata Irwan yang terlihat hendak mengakhiri pembicaraan.
“Kalau masih ada nanti ditelepon saja. Bisa, nanti saya sisihkan
waktunya,” kata Irwan sambil bersiap berangkat ke Bukittinggi. (*)
Singgalang, 10 April 2016
Sumber: irwan-prayitno.com
Posting Komentar