LAHIR 1936, Salman bin Abdul Aziz (79) yang kini memegang mahkota Raja Arab Saudi merupakan salah seorang dari ”Tujuh Sudairi”. Ini sebutan bagi tujuh bersaudara putra Raja Abdul Aziz bin Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi, dari istri yang paling disayanginya, Hussa binti Ahmad Sudairi.

Salman mengawali karier politik dalam usia muda, sekitar 27 tahun, dengan menjabat Gubernur Riyadh pada 1963, dan terus menduduki jabatan itu selama hampir 50 tahun. Saat menjadi gubernur provinsi itu, Salman bekerja erat dengan kelompok tradisionalis konservatif ataupun teknokrat liberal. Dibandingkan anggota senior keluarga kerajaan lainnya, Salman paling sering berhubungan dengan pemerintah asing. Ia juga kerap menjadi penengah saat ada perseteruan internal kerajaan.

Hal ini menempatkan Salman berada di pusat struktur kekuasaan terpenting di Arab Saudi. Dengan perawakannya yang kuat dan berjenggot, ia dinilai paling mirip dengan ayahnya, Raja Abdul Aziz, dibandingkan saudara-saudaranya.

Ketika kakak kandungnya, Putra Mahkota Sultan dan Nayef, meninggal, Salman ditunjuk menjadi menteri pertahanan dan kemudian sebagai putra mahkota. Di bawah kepemimpinannya, Kementerian Pertahanan Arab Saudi membeli persenjataan secara masif untuk meningkatkan hubungan dengan negara mitra Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis.

Sebagai raja dengan tugas menjaga dua tempat paling suci umat Islam, Mekkah dan Madinah, Salman dikenal taat beragama dan berpikiran terbuka. ”Dia cerdas, politis, berhubungan dengan kelompok konservatif, tetapi berpikiran cukup modern,” kata seorang mantan diplomat di Riyadh.
Selain itu, Salman juga dikenal moderat. Ia paham betul persaingan antara ulama-ulama konservatif dan pemimpin suku-suku dalam mengajukan aspirasi. Ia menjadi penentu kata terakhir di bidang reformasi sosial dan ekonomi yang dimulai Arab Saudi sejak dipimpin Raja Abdullah.

Dalam pertemuan dengan Duta Besar Amerika Serikat, Maret 2007, yang diungkapkan Wikileaks, Salman mengatakan, reformasi sosial dan budaya yang didorong Raja Abdullah harus bergerak pelan agar tidak ditentang kelompok konservatif. Ia kurang sependapat dengan penerapan demokrasi di kerajaan, khawatir memicu perpecahan regional dan suku-suku. ”Dia tidak menerima mentah-mentah apa saja yang dikatakan Amerika Serikat, tetapi pada saat bersamaan dia paham pentingnya hubungan yang tidak hanya soal minyak,” kata Robert Jordan, Duta Besar AS di Riyadh pada 2001-2003. (REUTERS/SAM)

Sumber: Kompas 24 Januari 2015