Utang Luar Negeri Kian Membesar, Kemampuan Bayar Mengkhawatirkan

Jumat, 14 November 20140 komentar

JAKARTA, KOMPAS  Utang luar negeri Indonesia semakin besar, terutama akibat utang luar negeri swasta yang tumbuh signifikan. Seiring dengan merosotnya nilai ekspor, rasio pembayaran utang membesar. Hal ini menunjukkan kemampuan Indonesia membayar utang mengkhawatirkan.
  Pada akhir Agustus 2014, utang luar negeri Indonesia mencapai 290,37 miliar dollar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Kamis (13/11), jumlah itu setara Rp 3.539,9 triliun.

Dari jumlah itu, utang luar negeri swasta 156,162 miliar dollar AS atau Rp 1.903,77 triliun. Dalam kurun waktu sembilan tahun, utang luar negeri swasta meningkat tiga kali lipat. Akhir tahun 2005, utang luar negeri swasta 50,6 miliar dollar AS.

Sebagai perbandingan, pendapatan negara dalam APBN-P 2014 sebesar Rp 1.635,4 triliun. Adapun belanja negara Rp 1.876,9 triliun.

Namun, seiring melambatnya pertumbuhan nilai ekspor, rasio pinjaman terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio/DSR) Indonesia meningkat. Per triwulan II-2014, DSR mencapai 50,33 persen, naik dari triwulan I-2014 yang sebesar 46,77 persen.

DSR merupakan indikator kemampuan sebuah negara membayar utang. Semakin besar DSR, kemampuan negara itu membayar utang semakin lemah. Konsensus menyebutkan, DSR aman di posisi 30 persen.

Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menjelaskan, pertumbuhan utang luar negeri swasta terutama terjadi sejak suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed, turun pada tahun 2008. Akibatnya, suku bunga acuan antarbank di pasar uang London (Libor) juga rendah.

Di Indonesia, ada bank yang menetapkan suku bunga pinjaman korporasi hingga 13,5 persen. Di sisi lain, rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) industri perbankan pada September 2014 telah mencapai 92,12 persen. Bank domestik kian selektif mengucurkan kredit untuk menjaga likuiditas.

Perpaduan suku bunga rendah di luar negeri dengan ketatnya likuiditas perbankan di dalam negeri ini membuat korporasi swasta memilih opsi meminjam kepada pihak di luar negeri dan menawarkan obligasi.

”Untuk utang jangka pendek, saya melihat obligasi korporasi swasta lebih dominan. Imbal hasil obligasi swasta cukup tinggi, mengikuti tren imbal hasil surat utang negara yang juga tinggi. Kondisi ini menarik bagi investor global,” kata David.

Ekonom Standard Chartered Indonesia, Eric Alexander Sugandi, menjelaskan, utang luar negeri umumnya digunakan korporasi Indonesia untuk belanja modal. Korporasi tertarik utang luar negeri saat likuiditas di pasar keuangan global melimpah dan bunga utang relatif rendah.

”Akan tetapi, peralihan dari korporasi yang tidak mengambil pinjaman dalam negeri lalu mengambil utang luar negeri tidak banyak,” kata Eric.

Menurut Eric, cara aman mengelola utang luar negeri dengan lindung nilai seperti yang baru saja diatur Bank Indonesia. Potensi risiko nilai tukar terhadap utang luar negeri bisa ditekan. Semakin lemah rupiah, rupiah yang diperlukan untuk mendapatkan dollar AS kian banyak.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank yang terbit 28 Oktober 2014 akan berlaku efektif 1 Januari 2015. Ada tiga hal pokok yang diatur, yakni rasio likuiditas, rasio lindung nilai, dan peringkat utang. Rasio likuiditas dan rasio lindung nilai diberlakukan bertahap, yaitu periode 1 Januari-31 Desember 2015 dan mulai 1 Januari 2016.

Terkait rasio likuiditas, pada 1 Januari-31 Desember 2015 korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri berbentuk valas harus melakukan lindung nilai minimal 20 persen dari selisih negatif antara aset valas dan kewajiban valas yang jatuh tempo dalam enam bulan berikutnya.

Korporasi harus menambah rasio lindung nilai sebesar 20 persen terhadap selisih negatif antara aset valas dan kewajiban valas yang akan jatuh tempo dalam tiga bulan berikutnya sehingga secara efektif rasio menjadi 40 persen. Kemudian mulai 1 Januari 2016, rasio ditingkatkan menjadi 25 persen sehingga untuk utang yang akan jatuh tempo dalam tiga bulan berikutnya, korporasi harus memiliki rasio lindung nilai sebesar 50 persen.

Terkait rasio likuiditas, korporasi harus menyediakan minimal 50 persen valas dari total kewajiban valas yang akan jatuh tempo dalam tiga bulan berikutnya. Rasio itu ditingkatkan menjadi 70 persen mulai 1 Januari 2016.

Utang baru
  Berdasarkan data terakhir Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, utang luar negeri pemerintah pusat Rp 2.602 triliun, terdiri dari pinjaman Rp 684 triliun dan Surat Berharga Negara Rp 1.918 triliun.

Sejak tiga tahun terakhir, untuk membayar cicilan bunga utang yang jatuh tempo, pemerintah harus menarik utang baru. Artinya, pemerintah gali lubang tutup lubang.

Indikasinya, keseimbangan primer APBN defisit. Keseimbangan primer dihitung dari pendapatan dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang.

Defisit primer tahun 2012 mencapai Rp 45,5 triliun, yang pertama dalam sejarah RI. Tahun 2013, defisit primer melebar dua kali lipat menjadi Rp 96 triliun. Dalam APBN-P 2014, defisit primer mencapai Rp 111 triliun. Adapun dalam APBN 2015, defisit primer berkurang menjadi Rp 93,9 triliun.

Tetap
  Rapat Dewan Gubernur BI kemarin memutuskan mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate 7,5 persen. Gubernur BI Agus DW Martowardojo menjelaskan, tingkat suku bunga acuan itu akan mengarahkan inflasi sesuai target 3,5-5,5 persen dan menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat lebih sehat.

”Defisit transaksi berjalan triwulan III-2014 turun signifikan dibandingkan defisit transaksi berjalan triwulan II-2014 dan triwulan III-2013,” kata Agus.

Defisit transaksi berjalan triwulan III-2014 sebesar 6,836 miliar dollar AS atau setara dengan 3,07 persen produk domestik bruto (PDB). Angka itu berkurang dibandingkan dengan defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2014 yang sebesar 8,689 miliar dollar AS atau 4,07 persen PDB.
Menurut David Sumual, BI Rate akan menyeimbangkan dampak utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Dengan suku bunga acuan yang cukup tinggi, nilai tukar rupiah terjaga karena defisit transaksi berjalan terkendali. Utang luar negeri pun tetap terjaga kendati diekuivalensikan ke rupiah.
”Dari sisi pertumbuhan ekonomi, suku bunga acuan yang tinggi seperti dilema karena menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Namun, jika reformasi struktur ekonomi konsisten dilakukan dan menunjukkan hasil, pertumbuhan ekonomi akan lebih baik lagi,” kata David.

Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk Arwin Rasyid menyatakan, BI Rate adalah sinyal atau acuan. Namun, yang paling penting adalah mempersiapkan diri menangani situasi mendatang dengan baik.

Secara terpisah, lembaga pemeringkat efek, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), menilai peraturan BI tersebut merupakan bentuk pengawasan aktif regulator untuk memitigasi risiko perekonomian. Korporasi yang akan mendapatkan utang luar negeri diharapkan lebih terseleksi sehingga memperkecil risiko gagal bayar yang dapat membahayakan ekonomi Indonesia.

”Kewajiban pemeringkatan mulai efektif per 1 Januari 2016, maka disarankan korporasi yang mendapatkan utang luar negeri valas segera mendapatkan peringkat,” kata Vice President Financial Institution Ratings Pefindo Hendro Utomo.

(AHA/LAS/BEN)
Sumber: Kompas 14 November 2014
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786