Pelajaran Terbaru dari Tunisia

Minggu, 02 November 20140 komentar


Pemilu parlemen Tunisia 26 Oktober yang berjalan lancar dan demokratis, lalu memberi harapan baru musim semi Arab mampu menghasilkan buah manis setelah mengalami paceklik tiga tahun terakhir. Pengalaman Tunisia menunjukkan pula, negara Arab berpenduduk 10 juta jiwa di Afrika Utara itu mengungguli negara Arab lain dalam sukses proses transisi sejak revolusi rakyat empat tahun silam.
Pengalaman Tunisia itu juga menunjukkan, sistem demokrasi masih bisa diterapkan di dunia Arab. Atau dengan kata lain, demokrasi bisa sejalan dengan budaya Arab. Padahal, belakangan muncul asumsi kuat bahwa demokrasi tak bisa sejalan dengan budaya Arab menyusul gagalnya revolusi Mesir serta pecahnya perang di Suriah, Libya, dan Yaman.

Karena itu, pemilu parlemen Tunisia mengusung makna, pelajaran sangat penting dan berarti besar bagi bangsa Arab. Sedikitnya ada lima makna dari pemilu parlemen Tunisia itu.

Pelajaran pertama, gugurnya wacana anarki dan tirani yang saat ini dikumandangkan kubu anti musim semi Arab dan kontra revolusi. Wacana itu sempat dimainkan oleh mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak, mantan Pemimpin Libya Moammar Khadafy, Presiden Suriah Bashar al-Assad, dan mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh saat meletus revolusi rakyat di negara masing-masing tahun 2011.

Wacana itu kini kembali diembuskan kubu kontra revolusi, berintikan para loyalis rezim lama di Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Menurut mereka, musim semi Arab hanya melahirkan anarki dan tirani baru dari kaum ortodoks agama.

Wacana itu tentu tidak mengada-ada. Semua negara musim semi Arab dilanda situasi anarki setelah revolusi tahun 2011. Pengalaman tragis dialami Mesir dan Libya. Meski sempat sukses menggelar pemilu parlemen, pemilu itu tidak mampu menciptakan stabilitas, bahkan memicu perebutan kekuasaan antarfaksi politik yang semula bersatu dalam revolusi.

Para loyalis rezim lama itu kini mengumandangkan jargon lama, jalan terbaik bagi bangsa Arab adalah stabilitas dan perubahan yang diatur oleh elite, bukan lewat revolusi rakyat.

Namun, pengalaman Tunisia mengungkap tentang kebenaran jalan ketiga, yakni jalan demokrasi yang diprakarsai rakyat. Jalan itu yang ditempuh bangsa-bangsa maju di muka bumi, seperti bangsa Eropa, Jepang, dan Amerika Utara. Rakyat Tunisia berhasil menempuh jalan serupa berkat komitmen dan kecerdikan rakyat Tunisia untuk mencapai tujuan bersama.

Pelajaran kedua, gugurnya hantu hegemoni Islam politik yang gencar dikumandangkan loyalis rezim lama. Mereka terus menanamkan rasa takut pada politik Islam di negara masing-masing. Gerakan Islam politik kerap pula digambarkan seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang mengerikan.
 
Tak ada hegemoni
Partai Ennahda yang beraliran Islamis ternyata kalah cukup telak pada pemilu parlemen Tunisia. Partai Ennahda hanya meraih 69 kursi, kalah dari partai sekuler Nidaa Tounes yang memperoleh 85 kursi.

Kekalahan partai Ennahda menunjukkan, tidak ada hegemoni gerakan Islam politik. Partai Islamis bisa kalah, bisa menang, bisa naik dan turun, seperti partai politik lainnya.

Hukum politik akan berlaku terhadap semua partai politik, termasuk partai Islamis. Jika partai tertentu berhasil menoreh prestasi saat berkuasa, partai tersebut pasti mendapat dukungan rakyat. Sebaliknya, apabila partai itu gagal, dukungan rakyat akan berpindah.

Asumsi itu berlaku pada Ennahda, yang banyak mengalami kesulitan saat berkuasa di Tunisia pada 2011-2013. Terseok-seoknya Ennahda tatkala berkuasa itu tergambar pada hasil pemilu ini. Pelajaran ketiga, kotak suara pemilu—bukan senjata—adalah jalan tercepat, terbaik, dan tersukses melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Rakyat Tunisia berhasil menetralisasi senjata dan militer dari pertarungan politik. Mereka menolak kudeta militer dan tidak mengundang militer untuk berkuasa. Rakyat Tunisia berhasil menciptakan tradisi, perbedaan politik bisa diselesaikan jauh dari senjata dan seragam militer. Mereka juga berhasil menjauhkan praktik ideologisasi pertarungan politik.

Rakyat Tunisia membuktikan, apa yang tidak dapat dicapai melalui senjata bisa dicapai melalui kotak suara.

Pelajaran keempat, gugurnya wacana gerakan Islam politik hanya memanfaatkan demokrasi untuk meraih kekuasaan. Setelah mendapat kekuasaan, demokrasi dirusak untuk mempertahankan kekuasaan selamanya. Dengan kata lain, demokrasi tidak sejalan dengan Islam.

Sikap ksatria Ennahda dengan menerima hasil pemilu menunjukkan, pimpinan partai Ennahda bisa menerima kekalahan dan bersedia melakukan suksesi kekuasaan secara damai. Pemimpin Partai Ennahda Rachid Ghannouchi memberi selamat kepada Pemimpin Partai Nidaa Tounes Beji Caid Essebsi atas kemenangannya itu.

Pelajaran kelima, Tunisia menunjukkan, perubahan telah berjalan baik dan benar meski sempat terseok-seok. Harapan baru muncul bahwa pengorbanan para pemuda untuk meraih masa depan lebih baik ternyata tidak sia-sia.

 

Sumber: Kompas 2 November 2014
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786