Ketimpangan Pendapatan | IMF Telah ”Menjerumuskan”

Minggu, 13 April 20140 komentar

IMF datang terlambat. Baru sekarang IMF sadar tentang dampak negatif ketimpangan dan baru berpikir bagaimana cara mengatasinya. IMF itu pemain besar, syukurlah sudah datang walau terlambat,” demikian Nancy Birdsall, Presiden Center for Global Development, sebagaimana dikutip situs The Australian edisi 14 Maret 2014.

Faktanya, IMF atau Dana Moneter Internasional bukan saja terlambat. IMF seperti memakai kacamata kuda yang lupa dan abai pada tugas-tugas pentingnya. Karena itu, IMF turut menjerumuskan perekonomian global ke dalam ketimpangan, yang berujung pada pusaran kesusahan yang sulit diatasi.

IMF membuat gemas dan sulit berubah. Barat tetap ingin mendominasi meski kekayaan ekonomi bergeser ke Asia. Kegemasan itu tergambar dari tulisan Eduardo Porter, kolumnis harian The New York Times.

Pada edisi 8 April di harian itu, Porter menyindir IMF yang sarat dengan kebijakan Konsensus Washington, merujuk pada penekanan bertahun-tahun tentang pengurangan peran pemerintah. Dengan Konsensus Washington, IMF juga gencar mendorong liberalisasi pasar, pengencangan ikat pinggang, dan pemenggalan badan usaha milik negara. IMF tidak terlalu menekankan pengurangan pajak. Apalagi, sempat ada alasan bahwa pengurangan pajak mendorong insentif investasi bagi investor. Di sisi lain, teori ekonomi dengan jelas menyebutkan, pajak adalah salah satu instrumen distribusi kekayaan.

Apa dampaknya? Liberalisasi menggusur serikat pekerja, membonsai peran pemerintah. Akhirnya, Porter menyindir Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde, IMF abai soal ketimpangan. ”Maaf, soal ketimpangan juga menjadi mandat IMF,” demikian Lagarde menjawab. Artinya, ketimpangan juga menjadi tugas IMF. Fakta menunjukkan, IMF dan Bank Dunia memunculkan fenomena baru yang menjadi pembicaraan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Washington, Amerika Serikat, pekan lalu.

Dalam pertemuan itu, IMF dan Bank Dunia mengatakan, ketimpangan berada pada tingkat berbahaya dan membuat keadaan ekonomi sangat rapuh.

Pada awal 2014, majalah Forbes menyajikan kekayaan 67 orang di dunia yang totalnya 6,5 triliun dollar AS, setara dengan kekayaan 3,5 miliar penduduk dunia. ”Ada kurang dari 100 orang yang memiliki kekayaan setara kekayaan 3,5 miliar warga,” kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim dalam pertemuan IMF-Bank Dunia, Kamis.
 
Rawan Kim dan Lagarde pun bersuara vokal soal bahaya ketimpangan ini pada perekonomian. Ketimpangan menciptakan kondisi sosial yang rawan. Ini seruan yang gencar disosialisasikan. Selama ini, ada persepsi, ketimpangan tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pemerataan menyebabkan disinsentif pada pertumbuhan.

Dalam riset terbaru IMF dan Bank Dunia, disimpulkan sebaliknya. ”Diyakini, pemerataan tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi,” kata Max Lawson, Kepala Kebijakan dan Advokasi di Oxfam GB, organisasi kemanusiaan yang hadir pada pertemuan IMF-Bank Dunia.

IMF pun semakin mendukung analisis ekonom Keynesian dan opini ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 Joseph Stiglitz. Ketimpangan membuat pertumbuhan rawan, menciptakan kondisi yang tidak menentu, dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Para warga kaya di AS, seperti pernah dikatakan Peter F Drucker, telah menernakkan uang mereka ke dalam produk spekulatif. Hal ini didukung liberalisasi pasar uang dan bebas pajak oleh kaum Republiken AS, yang tidak menginginkan regulasi sektor keuangan. Akibatnya, terjadi ekses negatif berupa penipuan di bursa, penipuan produk surat berharga, dan pencitraan surat berharga yang dipoles bagus ternyata tidak lebih dari junk (sampah).

Para pembeli junk ini terjebak penipuan dan akhirnya bangkrut. Dana lenyap di tangan bankir dan pelaku di pasar uang. Aksi spekulatif terbukti meruntuhkan ekonomi AS pada 2008, yang membenarkan opini ekonom Keynesian dan Stiglitz.

Kelebihan uang telah diterjemahkan ke dalam aksi spekulatif yang merusak. Di sisi lain, banyak warga yang tidak memiliki kekayaan. Padahal, kekayaan ini diperlukan untuk mendorong permintaan, sumber pertumbuhan organik.

Ada studi baru yang dilakukan Thomas Piketty dari Paris School of Economics dan Gabriel Zucman dari University of California, Berkeley. Studi memperlihatkan kepemilikan aset yang amat timpang saat ini. Mereka yang memiliki aset, kekayaannya terus meningkat. Sementara yang tidak memiliki aset hanya sekadar pekerja yang tidak bisa menandingi pendapatan para pemilik aset besar.

”Kami senang melihat IMF telah melihat ketimpangan sebagai hal yang bisa berdampak buruk,” kata Sharan Burrow, Sekretaris Jenderal International Trade Union Confederation (ITUC). Burrow merujuk makalah Jonathan Ostry, Wakil Ketua Divisi Riset IMF, bersama dua ekonom Andrew Berg dan Charalambos Tsangarides.

Lagarde menolak opini bahwa IMF abai pada isu ketimpangan. Dia mengatakan, dalam dua dekade terakhir, IMF selalu muncul dengan ide pemenuhan kebutuhan kelompok miskin.

Untungnya, masalah ini lebih banyak menimpa perekonomian Barat. Ini menjadi pelajaran berarti bagi negara berkembang, yang terlihat memiliki akar kuat menuju ketimpangan. (AFP/AP/REUTERS/MON)

Sumber: Kompas 13 April 2014
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786