Waspadai Inflasi karena Kurs, Biaya Hidup Tertinggi di Jakarta Rp 7,5 Juta Per Bulan

Jumat, 03 Januari 20140 komentar

JAKARTA, KOMPAS — Inflasi pada Desember 2013 mencapai 0,55 persen. Dengan demikian, secara kumulatif inflasi pada Januari hingga Desember 2013 mencapai 8,38 persen. Pemerintah harus mewaspadai pergerakan nilai tukar rupiah yang bisa memicu inflasi lebih tinggi pada 2014.
 
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan, kontributor utama inflasi pada Desember adalah bahan makanan (0,2 persen) dan makanan jadi (0,12) persen. ”Pada akhir tahun, konsumsi meningkat karena ada perayaan Natal dan libur pergantian tahun. Komponen lainnya menyumbang inflasi, tetapi jauh di bawah kontribusi bahan makanan dan makanan jadi,” kata Suryamin di Jakarta, Kamis (2/1).

Dari indeks harga konsumen di 66 kota, 61 kota mengalami inflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Manado, Sulawesi Utara, sebesar 2,69 persen. Sebanyak 5 kota mengalami deflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, sebesar 0,44 persen. Tingkat inflasi kalender 2013 terhadap 2012 yang mencapai 8,38 persen itu jauh lebih tinggi daripada inflasi pada tahun kalender 2012 terhadap 2011 yang hanya 4,30. Periode sebelumnya tingkat inflasi hanya 3,79 persen.

Menteri Keuangan M Chatib Basri menuturkan, inflasi 2013 sesuai prediksi, yakni di bawah 8,4 persen. Itu menunjukkan bahwa paket kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memberi dampak yang sesuai harapan. ”Dari sisi angka, kondisi perekonomian masih bagus.Pemerintah akan menjaga momentum supaya sentimen positif berlanjut ke 2014,” kata Chatib.

Namun, Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati mengatakan, capaian inflasi Desember sebesar 0,55 persen bukan merupakan prestasi. Bahkan, Enny mengaku khawatir dengan inflasi tahun kalender 2013. Inflasi itu tidak saja jauh lebih tinggi daripada asumsi inflasi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 yang hanya 6 persen, tetapi juga terjadi saat tren pelemahan nilai tukar rupiah masih terus berlanjut. Kurs tengah Bank Indonesia, Kamis, melemah 53 poin dari Rp 12.189 per dollar AS pada Selasa (31/12/2013) menjadi Rp 12.242 per dollar AS.

”Sebagian bahan baku industri yang mengolah menjadi produk jadi di Indonesia berasal dari impor. Saat nilai tukar rupiah melemah yang ditandai dengan terus naiknya kurs rupiah terhadap dollar AS, harga bahan baku impor juga naik. Pengusaha akan membebankan kenaikan harga bahan baku itu ke output sehingga konsumen yang akan menanggung,” kata Enny.

Mencermati pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung stagnan dalam posisi lemah, Enny berpendapat, pada Januari ini, tekanan dari komoditas industri masih akan cukup kuat. Apalagi pada saat hampir bersamaan, harga elpiji juga naik yang pada akhirnya bisa berpengaruh terhadap kenaikan harga bahan makanan dan makanan jadi. PT Pertamina (Persero) menaikkan harga elpiji kemasan tabung 12 kilogram mulai 1 Januari 2014 dengan rata-rata kenaikan harga di tingkat konsumen sekitar Rp 47.500 per tabung.
”Sudah ada informasi bahwa tarif tenaga listrik akan naik yang juga akan mendorong kenaikan harga. Namun, saya memprediksi kenaikan tarif tenaga listrik belum akan diberlakukan oleh pemerintah hingga pemilihan umum selesai,” kata Enny.

Pemerintah harus merumuskan kebijakan industri nasional yang keluarannya bisa secepat mungkin menggantikan bahan baku impor. Dengan tingkat ketergantungan terhadap bahan baku impor yang tinggi, perekonomian nasional akan terganggu saat nilai tukar rupiah melemah seperti saat ini.

Pada Februari 2014, BPS akan mengganti tahun dasar pengukuran inflasi dari indeks harga konsumen (IHK) tahun 2007 menjadi IHK tahun 2012. Perubahan didasarkan pada survei biaya hidup (SBH) yang dilakukan BPS.

Dari SBH di 82 kota, diketahui biaya hidup tertinggi ada di Jakarta, yakni Rp 7,5 juta per bulan dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 4,1. Biaya hidup terendah ada di Banyuwangi, Jawa Timur, yakni Rp 3 juta per bulan, dengan rata-rata anggota keluarga 3,6. Rata-rata nasional biaya hidup Rp 5,5 juta per bulan. Dibandingkan dengan SBH 2007, persentase bahan makanan turun dari 19,57 persen menjadi 18,85 persen. Ini berarti ada pengurangan pengeluaran untuk konsumsi makanan. (AHA)

Sumber: Kompas 3 Januari 2014
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786