JAKARTA, KOMPAS — Indonesia segera memilih pemimpin baru dalam Pemilu 2014. Karakter yang sederhana, mengorbankan kepentingan pribadi, dan antikorupsi bisa jadi acuan, seperti teladan Ketua Umum Partai Masyumi Prawoto Mangkusasmito (1910-1970), yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri (1952-1953).

Untuk memunculkan keteladanan dan pemikiran Prawoto, di Jakarta, Minggu (26/1), diluncurkan kembali buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito. Buku setebal 564 halaman itu dicetak Penerbit Buku Kompas. Sejumlah pejabat, politisi, dan tokoh hadir dalam peluncuran buku sekaligus diskusi. Di antaranya mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Sabam Sirait, dan Sukmawati Soekarnoputri.

Pada kesempatan itu, Institut Kepresidenan Indonesia juga memberikan anugerah negarawan panutan kepada Boerhanoeddin Harahap. Boerhanoeddin merupakan Perdana Menteri pada pemilu pertama tahun 1955.

”Saya tiga kali baca buku ini. Pertama, edisi cetakan tahun 1972 lalu,” kata Hatta saat didaulat memberikan sambutan. Hatta mengatakan, Prawoto adalah pejuang dan negarawan. ”Dia meninggal saat bertemu petani di Banyuwangi. Dia sudah blusukan di zaman itu,” kata dia.

Hatta juga mengungkapkan kekagumannya terhadap kesederhanaan Prawoto. Mengutip Mochtar Lubis, kata Hatta, Prawoto dikenang dengan jenggot, kacamata, kain sarung, dan sandal kulit yang menegaskan kesederhanaannya yang khas.

Mantan Sekjen Partai Katolik Harry Tjan Silalahi dalam diskusi mengatakan, seandainya Indonesia masih mempunyai pemimpin sekaliber Prawoto, Natsir, dan Mohamad Roem, Indonesia jadi bangsa maju.

”Jakob Oetama menulis, mempertanyakan mengapa Partai Katolik selama 15 tahun di kabinet selalu dekat dengan Masyumi dan PSI? Saya pernah tanya hal itu ke Pak Kasimo (Ketua Partai Katolik). Kata Pak Kasimo karena orang-orang di Masyumi berintegritas tinggi,” ujar Harry.

”Harry Tjan benar, Masyumi tak pernah korupsi,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Muhadjir Effendy.

Muhadjir menjelaskan, Prawoto juga pernah mengungkapkan keinginannya supaya demokrasi itu wajib, sama wajibnya dengan shalat. ”Tetapi gagasan demokrasi Masyumi ditorpedo oleh Orde Lama, Orde Baru, dan kondisi politik terkini dengan politik transaksionalnya,” kata dia.

Pengamat politik Fachry Ali mengatakan, pengaruh Masyumi masih terlihat walaupun tak dapat dibayangkan bagaimana kebijakan ekonomi Indonesia kini seandainya Masyumi tidak dibubarkan.

Dalam catatan penutup di buku Prawoto, Jakob Oetama menuliskan kegelisahannya mengapa fatsun dan etika berpolitik saat ini berbeda jauh dengan para bapak bangsa serta tokoh-tokoh sezaman. (RYO)

Sumber: Kompas 27 Januari 2014