WAKTU 
lima tahun ternyata mampu mengubah sebuah partai sedemikian drastis. 
Selain Partai Demokrat, partai yang paling banyak berubah adalah Partai 
Keadilan Sejahtera. Dari sebuah ”partai harapan”, ia diprediksi akan 
kehilangan dua pertiga pemilihnya. 
 Pemilihan Umum 2009 bisa dikatakan menjadi momen puncak bagi dua 
partai, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. 
Keduanya jadi simbol harapan baru di tengah kebuntuan partai-partai Islam dan nasionalis saat itu.
 Meskipun tak sefenomenal Demokrat, PKS menjadi tumpuan sebagai partai 
yang solid di tengah keretakan partai-partai Islam. Ia menjadi 
satu-satunya partai berbasis Islam yang bertahan dari kemerosotan pada 
pemilu terakhir itu.
 Dengan modal disiplin dan menampilkan citra sebagai partai bersih, 
selama dua kali pemilu, PKS mampu menarik simpati calon pemilih. 
Suaranya terus merangkak naik, dari 1,36 persen (pada masa bernama 
Partai Keadilan) pada Pemilu 1999, lalu melejit menjadi 7,34 persen pada
 Pemilu 2004, dan naik menjadi 7,88 persen pada Pemilu 2009.
 Mengalami pasang bersamaan dengan Demokrat, kini, PKS juga mengalami 
masa surut bersamaan dengan Demokrat. Sekarang, PKS menjadi partai yang 
mungkin hanya akan dipilih oleh sepertiga dari jumlah pemilih 
sebelumnya.
 PKS juga tercatat memiliki resistensi pemilih yang tinggi. Hasil survei Litbang Kompas, Desember
 lalu, menunjukkan, PKS ditolak oleh 6 persen pemilih, hampir tiga kali 
lipat daripada mereka yang akan memilihnya, yakni 2,3 persen. 
Kecenderungan ini nyaris tak berubah selama setahun terakhir. Dengan 
kondisi demikian, partai kader ini sangat riskan untuk tidak lolos 
ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang ditetapkan, yaitu 3,5 persen untuk Pemilu 2014.
 Kemerosotan suara PKS sebenarnya sudah diperkirakan terjadi beberapa 
tahun belakangan, setelah partai ini cukup banyak disorot terkait dugaan
 beberapa kasus korupsi yang melibatkan kadernya, juga lantaran 
persoalan moral anggotanya.
 Namun, yang paling telak memukul kredibilitas PKS adalah tertangkapnya 
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq pada 30 Januari 2013 oleh Komisi 
Pemberantasan Korupsi (KPK). Luthfi ditetapkan sebagai tersangka kasus 
impor daging sapi. Di tengah mahalnya harga daging sapi, kasus korupsi 
ini mendapat sorotan luas. Popularitas PKS pun makin susut. Ia 
ditinggalkan kalangan menengah dan atas yang dulu menjadi basis massa 
utamanya.
Perubahan karakter 
 
 Kesetiaan bukan harga mati dalam politik, demikian juga yang terjadi 
pada PKS. Sekalipun warna keislaman demikian kental pada partai 
berlambang padi dan bulan sabit itu, sesungguhnya PKS didukung oleh 
massa yang cair, yang mudah berubah pilihan. Selama lima tahun terakhir,
 perubahan yang terjadi pada PKS telah menunjukkan bahkan partai kader 
pun dengan mudah ditinggalkan pemilih.
 Hasil survei yang dilakukan Kompas
 sebelum Pemilu 2009 dan Desember 2013 menunjukkan terjadinya perubahan 
karakter pemilih PKS. Sebagai partai yang tumbuh dari kalangan 
intelektual Islam kampus, PKS memiliki ciri yang sangat menonjol dalam 
hal level pendidikan pemilihnya. Dari total suara yang akan diperoleh, 
21,4 persen di antaranya diprediksi berasal dari lulusan perguruan 
tinggi. Komposisi jumlah dukungan dari kalangan kampus ini merupakan 
yang terbesar di antara semua partai yang ada. Namun, kini, jumlah 
pendukung dari kalangan kampus menurun drastis jadi 9,4 persen.
 Sebaliknya, dulu hanya 35,7 persen pemilih partai ini yang berasal dari
 kalangan berpendidikan rendah (SLTP ke bawah), kini menjadi mayoritas 
(53,1 persen). Dengan perubahan karakter pendidikan seperti ini, sulit 
bagi PKS untuk memulihkan dukungan dalam waktu cepat.
 Posisi PKS sebagai partai papan menengah, saat ini, makin rapuh karena 
hanya didukung oleh 26,7 persen simpatisan yang pada Pemilu 2009 
memilihnya. Kondisi ini berbeda dengan menjelang Pemilu 2009 ketika 
soliditas basis massa masih sangat kuat. Dengan modal dukungan 
simpatisan pada Pemilu 2004 yang sebesar 76,7 persen, partai ini masih 
dapat bertahan sebagai partai papan menengah pada pemilu lalu.
 Upaya PKS untuk memperluas basis massa dengan mendeklarasikan diri 
sebagai partai tengah dan terbuka pada tahun 2010 belum berpengaruh 
signifikan pada minat golongan non-Muslim untuk memilih partai yang 
dipimpin oleh Anis Matta ini. Dukungan dari pemeluk agama di luar Islam,
 saat ini, malah hampir habis.
Bahkan, jika dulu partai ini paling 
banyak menyedot dukungan dari warga Muhammadiyah, kini, dukungan kaum 
Islam moderat ini hampir hilang.
Pemira
 
 Pemilihan raya (pemira) yang digelar PKS untuk menjaring calon presiden
 secara demokratis dari bawah juga seolah kehilangan momentum. 
Terpilihnya figur Hidayat Nur Wahid sebagai pemenang pemira juga belum 
terasa riaknya.
 Diperlukan sebuah manuver politik yang luar biasa besar bagi PKS untuk 
menahan kemerosotan yang bisa berakibat pada teranulirnya partai dari 
Senayan.
 Tiga bulan ke depan menjadi waktu yang menentukan untuk kembali memupuk
 kepercayaan. Apakah PKS mampu memberikan kejutan seperti yang kerap 
dilakukannya ataukah pupus dari ingatan massa, hal itu sangat ditentukan
 oleh konsolidasi dan manuver politiknya. (Bambang Setiawan/ Litbang ”Kompas”)
Sumber: Kompas 16 Januari 2014  
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Posting Komentar