Ajaran Pesantren Diamalkan Mandela

Senin, 09 Desember 20130 komentar

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Ketika mendengar kabar Nelson Mandela me - ninggal dunia, bukan hanya penduduk di Afrika Selatan saja yang bersedih, masyarakat dunia pun ikut berkabung. Mereka, para warga dunia, mulai dari ujung barat ke ujung timur serta dari selatan ke utara menyatakan kesedihannya. Mereka merasa ke- hilangan seorang tokoh teladan. Beberapa pemimpin dunia memerintahkan mengerek bendera setengah tiang sebagai penanda hari berduka.

Sejumlah pemimpin dunia meyatakan akan terbang langsung ke Johannesburg untuk menghadiri pemaka- man Mandela, termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan dua presiden pendahulunya, George W Bush dan Bill Clinton. Presiden Rusia, Putin, juga di - ka barkan akan menghadiri pemakaman tokoh yang se- lalu memakai batik Indonesia ini.

Rasa kehilangan masyarakat dunia yang begitu besar terhadap kematian Mandela (Nelson Rolihlahla Mandela) membuat saya penasaran. Saya pun teringat pelajaran di pesantren dulu. `\'Wannasu alfun minhum kawahidin. Wawahidun kal alfi in amru `ana,\'\' kata ustaz saya. Artinya kira-kira begini: Manusia seribu di antara mereka seperti satu. Dan satu orang seperti seribu apabila ia menaruh perhatian (terhadap yang seribu ini).

Guru yang lain menyampaikan, manusia yang besar itu akan kelihatan kebesarannya justru ketika ia sudah meninggal dunia. Ustaz lainnya menjelaskan sebuah hadis Rasulullah SAW yang mengatakan sebaik-baik ma - nusia adalah yang panjang umur nya dan disertai dengan banyak amal saleh, dan sebu- ruk-buruk orang adalah yang panjang umurnya dan buruk perilakunya. `\'Karena itu doa umur panjang hanya dibo leh - kan bila diikuti dengan doa ba nyak amal soleh,\'\' ujar ustaz.

Mandela jelas tidak per- nah mesantren. Namun, menilik sejarah panjang kehi - dupannya, tampak betul dalam kehidupan sehari-ha- rinya ia mengamalkan nilai-nilai dan ajaran yang biasa diberikan para ustaz dan kiai kepada para santrinya.

Simaklah riwayat hidupnya. Mandela bukan tipe pendendam. Ketika dilantik menjadi presiden Afrika Selatan (periode 1994-1999), Mandela mengundang orang-orang kulit putih yang dulu memenjarakannya selama 27 tahun sebagai tamu kehormatan. Ia me ne - rima mereka dengan hangat dan ramah. Ia memaaf - kan sebelum mereka meminta maaf.

Banyak orang yang menyebut dirinya sebagai pe- juang. Banyak yang menjadi pemberani melawan se- buah rezim kekuasaan yang lalim. Banyak pula yang menderita siksaan psikis maupun fisik selama dalam penjara. Namun, sangat jarang dari mereka yang ke- mudian menjadi pemimpin nasional yang negarawan seperti Mandela. Yang terakhir ini telah mengalami siksaan dari yang ringan hingga yang berat. Bisa saja ketika berkuasa ia kemudian membalas dendam, menjebloskan ke penjara siapa pun mereka yang per- nah menjadi lawan politiknya. Namun, dengan kebe- saran hati, Mandela memaafkan siapa saja yang pernah menyebabkannya menderita bertahun-tahun dalam penjara.

Sebagai sarjana hukum, bisa saja Mandela mem- bangun masa depan yang enak sebagai pengacara. Ia juga bisa bekerja sama dengan rezim penguasa. Tapi, Mandela lebih memilih berjuang untuk rakyat yang menderita karena politik apartheid kulit putih. Ia juga tidak gentar menghadapi sidang pengadilan yang mengancamnya hukuman mati. Beberapa kali ia ditawari pembebasan dengan syarat mau bekerja sama dengan penguasa. Namun, berkali-kali pula ia menolak pembebasan bersyarat. Ia hanya mau pem- bebasan tanpa syarat apa pun. Kebebasan yang ke- mudian ia dapatkan setelah mendekam dalam penjara selama 27 tahun.

Bagi Mandela, negara dan bangsanya adalah nomor satu. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak peduli ketika ia harus ditinggalkan istrinya yang cantik. Tidak peduli juga ketika teman-teman seperjuangannya mening- galkannya satu per satu lantaran perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tidak peduli pula ia dikecam teman-teman separtainya ketika ia menolak untuk dip- ilih menjadi presiden untuk periode kedua. Penolakan yang dimaksudkan untuk pendidikan politik buat gen- erasi yang akan datang, bahwa sebuah negara harus mengedepankan sistem. Sistem yang berlandaskan un- dang-undang dan hukum. Bagi Mandela, sebuah nega - ra tidak boleh hanya dikendalikan seseorang. Penguasa tidak boleh maruk dan berkuasa sepanjang umurnya be tapa pun berjasanya dia.

Apa yang dilakukan Mendela, termasuk hanya mau menjadi presiden dalam satu periode, adalah untuk memberi contoh. Bukan hanya untuk Afrika Se- latan, tapi juga untuk negara-negara lain, terutama di Benua Afrika. Sejumlah pihak meramalkan bahwa negara-negara di Benua Hitam itu akan mengalami kekacauan politik setelah merdeka dari penjajahan.

Me reka memprediksi akan terjadi perebutan kekuasa- an yang berdarah di Afrika.
Mandela ingin membuk- tikan bahwa perkiraan me - reka, terutama masyarakat Barat, adalah salah. Man- dela membuktikan diri bah - wa orang-orang Afrika bisa berbangsa dan bernegara dengan benar. Terbukti ke- mudian bahwa setelah Mandela tidak lagi menjadi presiden, Afrika Selatan pun menjadi negara yang de - mokratis. Pergantian penguasa berjalan normal.

Bahkan, banyak negara di Afrika yang kemudian mengikuti jejak Afrika Selatan yang demokratis.
Bagi Mandela, berkhidmat untuk bangsa, negara, dan kemanusiaan pada umumnya tidak harus menjadi penguasa. Pemimpin adalah sepanjang masa. Man- dela telah membuktikan semuanya. Ia menjadi pe - mimpin melawan politik apartheid ketika muda, ia tetap memimpin dari balik jeruji penjara. Ketika men- jadi presiden, ia fokus untuk menghapus pengaruh apartheid dengan memberantas rasisme, kemiskin - an, dan mendorong rekonsiliasi rasial serta sosial.

Mandela juga tetap sebagai pemimpin ketika tidak lagi menjabat sebagai presiden. Pemimpin yang mengilhami dan menggerakkan bangsa. Ia pun aktif di lembaga-lembaga amal untuk memberantas kemiskin - an dan HIV/AIDS melalui Yayasan Nelson Mandela.

Dengan aktivitas kemanusiaannya itu, pengaruh Man- dela pun sudah lintas batas. Lebih dari 250 penghar- gaan telah ia terima, termasuk Hadiah Nobel untuk Perdamaian pada 1993, Medali Kebebasan Presiden Amerika Serikat, dan Order of Lenin dari Uni Soviet.

Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip per - kataan Ibnu Duraid al-Azdy (wafat 321 H), `\'Wainnama al mar-u haditsun ba\'dahu. Fakun haditsan hasanan liman wa\'aa.\'\' Arti bebasnya kira-kira begini, `\'Manusia itu diukur dari pengaruh setelah ia meninggal dunia.

Maka berilah pengaruh yang baik semasa hidup.

Sumber: Republika 9 Desember 2013
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786