Oleh:
UPAYA
menghadapi gempa bumi dan tsunami adalah pergulatan panjang masyarakat
Jepang, demikian juga seharusnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana
Jepang, Indonesia dikepung zona patahan dan tumbukan lempeng yang sangat
aktif, yang bisa memicu gempa besar dan tsunami kapan saja.
Jejak tertua yang terekam di Jepang terkait upaya mitigasi tsunami
dilakukan pendiri kota Sendai, Date Masamune, pada tahun 1611. Setelah
wilayahnya dilanda gempa dan tsunami besar pada tahun itu, pemimpin kota
Sendai ini lalu mengosongkan pesisir dan menggantinya dengan sabuk
hijau, serta membangun kanal.
”Namun, seiring waktu, orang-orang kembali di kawasan pesisir ini yang
dulu telah dikosongkan. Kawasan ini terkena kembali tsunami pada 2011
lalu,” kata Fumihiko Imamura, ahli tsunami yang juga Direktur Lembaga
Riset Internasional Ilmu Bencana (IRIDeS), ditemui di Tohoku, Jepang,
pekan lalu. ”Kecenderungan kembali ke lokasi bencana tak hanya terjadi
di Aceh, tetapi juga di Jepang. Kita harus mencari solusi lebih baik dan
permanen, karena tsunami akan berulang.”
Berdasarkan data NOAA (Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS), dalam
kurun waktu 1800-2014, Jepang dilanda 225 gempa bermagnitudo M 5 hingga M
9 dengan korban tewas 222.052 jiwa. Adapun tsunami yang terjadi 124
kali, menewaskan 55.759 jiwa. Secara total, jumlah penduduk di Jepang
yang tewas akibat gempa dan tsunami periode ini 277.811 jiwa.
Menurut sumber sama, dalam jangka waktu serupa, Indonesia dilanda 262
gempa bumi bermagnitudo M 5 hingga M 9,1. Jumlah korban tewas akibat
gempa 33.713 jiwa, jauh lebih sedikit dibandingkan Jepang. Rangkaian
gempa itu memicu terjadinya 124 tsunami yang menewaskan 237.793 jiwa.
Adapun total jumlah penduduk di Indonesia yang tewas akibat gempa dan
tsunami dalam periode itu mencapai 271.506 jiwa, nyaris setara dengan di
Jepang. Bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember
2004 tercatat menyebabkan jumlah kematian terbanyak.
Memitigasi tsunami
Hingga kini, gempa belum bisa diprediksi kapan akan datang dan seberapa
kuat guncangannya. Beberapa zona kegempaan memang sudah dipetakan dan
diperkirakan kemungkinan keberulangannya meski tak bisa diketahui secara
persis kapan gempa bumi itu terjadi.
Dari pemetaan zona kegempaan itu, mitigasi bencana gempa dan tsunami
bisa dilakukan. Namun, perhitungan dan prediksi yang dibuat bisa
meleset, seperti yang terjadi saat gempa mengguncang pesisir timur
Tohoku pada 11 Maret 2011.
Sebelumnya, para ilmuwan Jepang tak menyangka zona subduksi di Pasifik
yang menghadap Tohoku bisa patah bersamaan. Hal itu memicu gempa hingga M
9 dan tsunami mencapai lebih dari 25 meter.
”Data-data sejarah yang kami miliki tentang gempa bumi di masa lalu
amat terbatas. Gempa hingga M 9 tidak ada dalam data kami. Kita harus
mengakui ada keterbatasan pengetahuan dan teknologi. Tetapi, yang lebih
penting bagaimana kita terus belajar menghadapi bencana ke depan,” kata
Imamura.
Tsunami yang melanda pantai timur Tohoku pada 2011 menjadi pukulan
besar bagi Jepang, yang dikenal telah banyak melakukan persiapan
menghadapi gempa dan tsunami. Sebelum tsunami melanda, Jepang memiliki
sistem peringatan dini tsunami, pendidikan bencana yang intensif, hingga
ada tanggul di sepanjang pesisir Tohoku.
Namun, korban tewas yang mencapai 15.889 orang dan hilang 2.601 orang
itu merupakan terbesar yang mereka alami setelah Perang Dunia II. Maka,
sejak tsunami 2011, Jepang melakukan banyak perubahan kebijakan.
”Pendirian IRIDeS di Universitas Tohoku pada 2012 merupakan salah satu
perubahan yang dibuat,” kata Imamura.
Sudah jadi tradisi di Jepang, setiap bencana besar diikuti dengan
pendirian pusat riset di kampus terdekat. Contohnya, gempa besar Kanto
(Tokyo dan sekitarnya) yang menewaskan 140.000 jiwa pada 1923 diikuti
pendirian Lembaga Riset Gempa Bumi (ERI) di Universitas Tokyo tahun
1925. Lalu, topan Jane yang melanda pada 1950 diikuti pembangunan
Lembaga Riset Pencegahan Bencana di Universitas Kyoto pada 1951.
Dibandingkan tsunami yang menewaskan 160.000 jiwa warga Aceh pada 26
Desember 2004, jumlah korban tsunami Tohoku pada 2011 relatif kecil.
Tsunami Aceh merupakan yang terbesar dari skala kehancuran dan jumlah
korban. Namun, justru, Singapura yang kemudian mendirikan Earth
Observatory of Singapore (EOS) di Nanyang Technological University pada
tahun 2009. Pusat riset itu memfokuskan pada riset di bidang
kegunungapian, gempa bumi, dan tsunami, padahal Singapura tidak memiliki
tiga jenis bencana geologi itu. Indonesia, menjadi laboratorium alam
terdekat bagi mereka.
Di Jepang, pusat-pusat riset kebencanaan itu memainkan peran penting
dalam proses pembelajaran dan rekonstruksi. Dalam kasus tsunami di
Tohoku, hasil riset IRIDeS menjadi dasar penting bagi Pemerintah Jepang
dalam menyusun 17 undang-undang baru untuk merespons kemungkinan terjadi bencana serupa di masa depan.
UU baru itu, salah satunya tentang perbaikan tata ruang di lokasi
bencana. Regulasi itu menjadi landasan untuk mengosongkan permukiman
dari kawasan pesisir yang dilanda tsunami hingga ketinggian dua meter
dan memindahkannya ke kawasan perbukitan.
Selain butuh banyak riset dasar, menurut ahli gempa dari Institut
Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, Indonesia butuh dewan riset yang
menjembatani para ahli dengan pembuat kebijakan. Jepang punya Kantor
Pusat Promosi Riset Gempa (HERP), yang dibentuk setelah gempa Kobe 1995.
Menurut Irwan, yang juga lulusan Universitas Nagoya, Jepang ini,
penelitian kegempaan dan tsunami merupakan bidang multidisiplin. Apabila
pengembangan bidang itu hanya dilakukan instansi pemerintah, maka akan
dibatasi tugas pokok dan fungsi setiap instansi.
Lembaga HERP itu bertugas meneliti multidisiplin, membuat peta bahaya
gempa Jepang, dan menyebarkannya kepada publik. Tiap tahun, HERP wajib
memperbarui peta itu. Lembaga itu diberi dana Rp 480 miliar per tahun
atau 30 persen alokasi dana kebencanaan di Jepang.
Ilmu pengetahuan dan teknologi tetap punya kebatasan dalam menghadapi
bencana alam, sebagaimana diakui Imamura. Namun, yang paling penting
adalah upaya untuk terus belajar dari tiap kejadian bencana. Apa yang
terlewat di masa lalu untuk diantisipasi harus diperbaiki, dan itu
menuntut kecermatan riset dan sikap mental untuk terus melakukan yang
terbaik demi generasi penerus.
Sumber: Kompas 22 Januari 2015
Posting Komentar