Rasanya mata meleleh membaca kembali kebesaran hati Buya Hamka terhadap 3 tokoh bangsa yang pernah memusuhinya...
***
Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi
Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), pernah menahan Buya Hamka selama 2
tahun 4 bulan dengan tuduhan terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden
Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan
Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Beliau ditahan tanpa proses
persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk melakukan
pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya juga dilarang untuk
diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang
mengancam negara.
Setelah bebas dari penjara, Buya Hamka sudah
mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah
terjungkal. Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit-sakitan, jelang
akhir hayatnya menitipkan pesan untuk Buya Hamka lewat ajudan Presiden
Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan tersebut berbunyi,
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat
jenazahku.”
Pesan tersebut sampai kepada Buya Hamka seiring
kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, beliau kemudian melayat ke
Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat
Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah
menjebloskannya ke penjara itu.
Pada era 1963-1965, Buya Hamka
juga kerap mendapat fitnah dan diserang oleh Pramudya Ananta Toer
melalui harian Bintang Timoer, media yang pro PKI. Melalui rubrik
Lentera Hati. Pram menyebut Buya Hamba sebagai plagiat. Respons
masyarakat justru sebaliknya, buku-buku Pram dilarang beredar, sebagian
ada yang dibakar.
Apa tanggapan Buya Hamka terhadap hal ini? Di
Taman Ismail Marzuki, Buya menyampaikan, tidak semestinya karya Pram
dilarang dan dibakar. Menurut Buya, jika tidak menyukai sebuah buku,
tulislah buku untuk menandinginya, bukan dengan membakarnya.
Terkait fitnah dan tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Buya menyatakan
telah memaafkan Pram. Bagaimana tanggapan Pram? Tak ada pernyataan maaf
yang disampaikan secara langsung atau diketahui publik. Tapi satu hal
yang menarik, Pram justru meminta putrinya, Astuti, yang ingin menikah
dengan seorang nonmuslim supaya belajar Islam kepada Hamka.
"Saya ingin putri saya yang muslimah bersuami dengan laki-laki seiman.
Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan
masuk Islam kepada Hamka," kata Pram.
Mohammad Yamin, salah
seorang founding father negeri ini juga termasuk tokoh yang
berseberangan dan benci kepada Buya Hamka. Ia aktif di Partai Nasionalis
Indonesia (PNI), sedangkan Buya aktif di Partai Masyumi. PNI
menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai Masyumi
berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, Buya
Hamka berpidato menegaskan soal pendiriannya.
Yamin
menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, baik
ketika dalam ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan
seminar. “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian
kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya,” begitu kata Buya
Hamka.
Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya
lewat radio dan media massa cetak. Hingga suatu hari, Chaerul Saleh,
menteri di kabinet Soeharto meneleponnya dan ingin menyampaikan kabar
mengenai kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh kemudian mengatakan
kepada Hamka, “Buya, saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit
sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya
untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan
terakhir beliau,” ujarnya.
Hamka yang tertegun kemudian
bertanya, “Apa pesannya?” Sang menteri itu mengatakan, ”Pak Yamin
berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang
ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Beliau mengharapkan sekali, Buya
bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.” Kepada Buya Hamka,
Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, Yamin khawatir, masyarakat
Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima
jenazahnya.
Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga
Buya Hamka kemudian minta diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring
sakit. Melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah kemudian
melamabaikan tangan. Hamka mendekatinya, kemudian menjabat hangat
tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya itu.
Sementara Hamka terus membisikkan ke telinga Yamin surat Al-Fatihah dan
kalimat tauhid. Dengan suara lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa
lama, tangannya terasa dingin.
Mohammad Yamin mengembuskan
napas terakhirnya di samping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir
hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah ingin menghapuskan
segala sengketa yang pernah ada. Memenuhi wasiat Yamin, Hamka pun
kemudian turut mengantar jenazah Yamin ke pemakaman.
17 Februari 1908 adalah tanggal kelahiran HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).
~ Lembar khusus Islam Digest REPUBLIKA yang dikutip juga dari buku "Ayah" (Irfan Hamka)
Sumber: Facebook Rahmadiyanti Rusdi 9 Februari 2014
Posting Komentar