TANGGAMUS – Jutaan kilometer dari kampung halaman, telah banyak
asam garam kehidupan tanah rantau dirasakan pria kelahiran Desa Dulolong
Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini. Ya,
bungsu dari 9 bersaudara ini memang diberi nama yang sangat heroik oleh
almarhum ayahnya: Pahlawan. Lengkapnya Pahlawan Usman.
Perihal nama tersebut, ia
pernah bertanya ke sang ibu. “Cerita ibu, dulu di kampung setiap upacara
bendera dengan lagu Jepang, bapak saya yang selalu meniup terompet. Terompet
itu akhirnya dihadiahkan untuk bapak dan sampai sekarang masih tersimpan di
rumah di Alor. Kata ibu, itu yang mengilhami ketika saya lahir diberi nama
Pahlawan,” kenang pria kelahiran 5 Juli 1976 ini.
Sekalipun jumlah warga muslim
Alor relatif lebih banyak dibandingkan kabupaten lain di NTT, namun hidup di
lingkungan minoritas muslim membuat orangtua Pahlawan mendidiknya untuk haus
terhadap ilmu agama. Konsisten menempuh pendidikan di sekolah islam (ibtidaiyah
hingga aliyah; pendidikan lanjutan atas diselesaikannya di Madrasah Aliyah di
Dilli, Timor Timur), Pahlawan lalu melanjutkan kuliah pada tahun 1995 di
Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Perhelatan nasional Forum
Komunikasi Mahasiswa Teknik Indonesia yang diselenggarakan tahun 1999 di
Lampung membawanya berkenalan dan menikahi Fitria, gadis Tanggamus yang kini
menjadi ibu dari ketiga anaknya. Demikianlah Pahlawan kemudian memutuskan
tinggal di Lampung, tepatnya di Pekon (Desa) Pematang Lebak Kecamatan Bulok
Kabupaten Tanggamus sejak tahun 2001. Suka duka rumahtangga baru sekaligus
sebagai orang rantau dilakoni Pahlawan demi menghidupi keluarganya, mulai dari
berjualan air jerigen-an, kulit kopi untuk pakan ternak, serta hasil-hasil
hutan.
“Atas kebaikan seorang guru,
kami pernah dibolehkan tinggal di rumahnya yang tak terpakai. Rumah itu sudah
rusak-rusak. Kalau hujan bocor dimana-mana. Dan karena itu lingkungan sekolah,
alhamdulillah kami bisa sambil berjualan jajanan sekolah,” kenangnya.
Tahun 2002 ia mulai bersentuhan
dengan para pelaku dakwah. Pertama kali ia berkenalan dengan ustadz yang juga
Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pardasuka,
Kabupaten Tanggamus, Ustadz Budi Prayitno. “Dari interaksi-interaksi itulah
saya kemudian ikut liqo. Pertama kali liqo dengan Ustadz Adison Atia, lalu
Ustadz Ikhsan, dan Pak Suyadi. Seterusnya hingga sekarang,” urai pria berpostur
tinggi besar ini.
Di tengah kepahitan hidup, ia
merasakan indahnya bertemu saudara-saudara seiman seperjuangan. “Saya yang
orang rantau ini jadi punya banyak saudara. Tambah ilmu, tambah saudara.
Bahagia sekali bisa ketemu orang-orang soleh ini,” ujar Pahlawan.
Tahun 2004 ia mulai terlibat di
partai, bahkan kemudian diamanahi menjadi Ketua DPC PKS Pardasuka, lalu Ketua
DPC PKS Bulok. Tahun 2009 Pahlawan dipercaya menjadi Sekretaris Umum DPD PKS
Tanggamus, mendampingi Ketua Umum DPD Heni Susilo, hingga sekarang. Pemilu 2009
juga mengantarnya menjadi anggota legislatif DPRD Tanggamus yang dilanjutkannya
pada periode 2014-2019 ini.
Bergelut dengan medan dakwah di
daerah, menurut Pahlawan banyak tantangannya. Sebagian yang diingatnya antara
lain saat kurang lebih setahun menjadi murobbi bagi 15 nelayan di Pekon Pantai
Harapan Kecamatan Kelumbayan. “Tempatnya jauh. Dan menuju ke sana harus
melewati sungai yang jika airnya naik (meluap, red.) itu motor harus dipanggul
supaya bisa nyebrang sungai. Dan setiap ke sana praktis harus menginap,” kisah
Pahlawan.
“Pernah juga tiap jadi muwajih
taklim struktur di Pekon Penyandingan, juga di Kecamatan Kelumbayan, itu kita
harus ke puncaknya yaitu Dusun Talong. Jalannya jelek dan sangat berbahaya,
hanya bisa lewat motor GL Pro. Ada tanjakan yang kita beri nama ‘Tanjakan Masya
Allah’ dan jadi ‘makanan’ kita selama setahun,” urainya sambil tertawa. Tak pelak
jatuh, terluka, patah tangan, dan kaki pernah dialami Pahlawan bersama para
da’i blusukan di Kabupaten Tanggamus ini.
Posting Komentar