Andalus
sangat beruntung memiliki perpaduan antara ulama sekaliber dan sesholeh Mundzir
bin Said Al Baluthi dan pemimpin sehebat dan sesholeh Abdurahman An Nashir.
Duet yang berlangsung selama 11 tahun ini sebenarnya merupakan rangkaian dari
duet Abdurahman An Nashir dengan ulama-ulama hebat sebelumnya. Hasilnya: puncak
kebesaran dan kemakmuran Andalus.
Menjelang
akhir pemerintahan An Nashir (350 H), terjadi kekeringan. Hujan tak kunjung
datang. Abdurahman An Nashir menulis surat perintah untuk Hakim Mundzir bin
Said Al Baluthi agar memimpin shalat Istisqo’ (minta hujan).
Pada
hari pelaksanaan, masyarakat sudah berkumpul. Tapi, Khalifah Abdurrahman An
Nashir belum kunjung datang. Hakim Mundzir mengirimkan utusan agar memberitahu
Khalifah Abdurrahman untuk segera ke lapangan.
Utusan yang
datang ke Hakim Mundzir ditanya: Seperti apa keadaan Khalifah saat kau
tinggalkan?
Utusan: Tidak
pernah aku melihatnya lebih khusyu’ kepada Allah melebihi hari ini. Ia
menyendiri. Memakai pakaian kasar. Menangis mengakui dosanya. Dia berdoa:
Ini ubun-ubunku di tangan Mu. Apakah Engkau adzab rakyat karena aku. Engkau
Hakim paling adil. Tak ada yang terlewatkan dari Mu tentang diriku.
Mendengarkan
jawaban itu, Hakim Mundzir dengan yakin memberi jaminan:
“Demi Allah, kalian akan dihujani. Nak, bawa payung. Allah telah mengizinkan untuk turunnya hujan.”
“Demi Allah, kalian akan dihujani. Nak, bawa payung. Allah telah mengizinkan untuk turunnya hujan.”
Kita pasti
heran. Sangat berani Hakim Mundzir memberi jaminan pasti hujan. Padahal sampai
zaman teknologi canggih hari ini saja, tak ada yang berani memberi jaminan akan
turun hujan. Karena hujan adalah murni di dalam genggaman Allah. Dia turunkan
sesuai dengan kehendak Nya.
Mengapa Hakim
Mundzir berani ‘memastikan’?
Ya, karena ada sunnatullah fil kaun (aturan Allah di semesta ini). Hakim
Mundzir ulama besar yang sangat memahami ilmu ini. Inilah ilmu di balik
keyakinannya, Hakim Mundzir berkata,
“Jika
penguasa bumi khusyu’, penguasa langit merahmati.”
Khutbah dimulai.
Dan inilah penuturan Ibnu Katsir di Al Bidayah Wan Nihayah,
“Di
awal khutbahnya, ia membaca ayat:
(سَلامٌ
عَلَيْكُمْ
كَتَبَ
رَبُّكُمْ
عَلى نَفْسِهِ
الرَّحْمَةَ
أَنَّهُ مَنْ
عَمِلَ
مِنْكُمْ
سُوءاً بِجَهالَةٍ
ثُمَّ تابَ
مِنْ
بَعْدِهِ
وَأَصْلَحَ
فَأَنَّهُ
غَفُورٌ
رَحِيمٌ)
(“Salamun
‘alaikum (selamat sejahtera untuk kamu).” Tuhan-mu telah Menetapkan
sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barangsiapa berbuat kejahatan di
antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki
diri, maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.(Al An’am: 54)
Ia terus mengulang-ulangi ayat tersebut. Masyarakat mulai menangis dengan penuh
taubat dan kembali kepada Allah. Keadaan seperti itu terus berlangsung hingga
mereka dihujani dan pulang berjalan di genangan air.”
(Lihat kisah ini di: Tarikhul Islam oleh Adz Dzahabi, Al Kamil fit
Tarikh oleh Ibnul Atsir, Al Bidayah Wan Nihayah oleh Ibnu Katsir)
Inilah perpaduan
antara ulama rabbani, ahli ilmu yang ikhlas dengan pemimpin besar yang sholeh.
Ulamanya menjaga kesholehan diri dan masyarakatnya dengan ilmu dan iman.
Pemimpinnya menangis melihat keadaan menyedihkan yang menimpa masyarakatnya.
Rasakan ulang
getar iman dari rangkaian doa sang pemimpin tertinggi:
Ini ubun-ubunku
di tangan Mu. Apakah Engkau adzab rakyat karena aku. Engkau Hakim paling adil.
Tak ada yang terlewatkan dari Mu tentang diriku.
Rasakan getar
imannya. Menangis kita mendengarnya. Menangis kita membandingkan dengan zaman
kita.
Sungguh inilah
solusi murah dan mudah. Di tengah, kita diminta berpikir untuk menyelesaikan
masalah secara teknis dan fisik yang sering berbiaya mahal. Seharusnya solusi
yang satu ini dilirik oleh para ulama dan pemimpin.
Mudah dan murah.
Tapi perlu ilmu, iman dan kekhusyu’an/ketundukan hati di hadapan
kebesaran Nya.
Istishha’
Kalau kisah
Andalus di atas adalah istisqo’ (Meminta hujan). Untuk keadaan
hari-hari ini yang tepat adalah Istishha’ (Meminta terang).
Hanya bedanya, Istisqo’ ada syariat shalat, khutbah dan doa.
Sementara
Istishha’ hanya doa saja.
Coba anda buka
Shahih Bukhari. Ada akan terkejut. Ternyata di dalam kitab yang telah ditulis
12 abad yang lalu, di tengah Arab yang tidak sering hujan, terdapat bab di
dalamnya:
(بَابُ
الدُّعَاءِ
إِذَا
انْقَطَعَتِ
السُّبُلُ
مِنْ
كَثْرَةِ
الْمَطَرِ)
(Bab Doa Jika
Jalan-Jalan Terputus Karena Hujan Lebat)
Masya Allah, kemana kita
selama ini. Saya mengamati mereka yang gemar bercuap-cuap di dunia maya dan
alat komunikasi. Tak ada satupun yang mengangkat tema dan doa di dalamnya.
Entah mengapa. Entah kemana para ulamanya. Mengapa mereka tidak
mensosialisasikan hal ini. Padahal tugas mereka tak sekadar sosialisasi. Lebih
dari itu, mereka seharusnya memimpin seperti Hakim Mundzir dan seperti dalam
kisah di bab ini. Mengawal para pemimpin untuk memberi solusi bagi masyarakat
yang sedang terjepit.
Dari Anas bin
Malik dia menceritakan bahwa ada seseorang yang pada hari Jumat masuk (ke
masjid melalui satu pintu yang lurus dengan mimbar. Rasulullah sedang khutbah.
Orang itu berdiri di hadapan Nabi dan berkata: Ya Rasulullah, binatang ternak
mati, jalan terputus, doakan agar Allah menurunkan hujan bagi kami.
Rasulullah pun
mengangkat kedua tangannya dan berdoa:
Ya Allah hujani
kami, Ya Allah hujani kami, Ya Allah hujani kami.
Anas berkata: Demi Allah kami tidak melihat sepotong awan pun langit. Seketika muncullah dari arah belakang beliau, awan seperti tameng. Ketika awan itu telah berada di tengah langit, menyebar dan kemudian hujan turun.
Anas berkata: Demi Allah kami tidak melihat sepotong awan pun langit. Seketika muncullah dari arah belakang beliau, awan seperti tameng. Ketika awan itu telah berada di tengah langit, menyebar dan kemudian hujan turun.
Anas berkata lagi: Demi Allah selama 6 hari kami tidak melihat matahari.
Kemudian ada yang meminta Rasul lagi: Ya Rasulullah, harta benda hancur, jalan terputus, doakan agar Allah menahan hujan.
Kemudian ada yang meminta Rasul lagi: Ya Rasulullah, harta benda hancur, jalan terputus, doakan agar Allah menahan hujan.
Rasulullah pun mengangkat kedua tangannya sambil berdoa:
Ya Allah
turunkanlah di sekeliling kami bukan menimpa kami, Ya Allah turunkan pada gundukan
tanah, gunung, bukit, lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.
Dan hujan pun berhenti. Kami keluar berjalan di bawah terik matahari.
Syuraik bertanya kepada Anas: Apakah itu orang yang pertama?
Anas menjawab: Saya tidak tahu
(Muttafaq Alaih)
Dan hujan pun berhenti. Kami keluar berjalan di bawah terik matahari.
Syuraik bertanya kepada Anas: Apakah itu orang yang pertama?
Anas menjawab: Saya tidak tahu
(Muttafaq Alaih)
Ibnu Hajar
menjelaskan hadits ini dalam Fathul Bari,
“Disyariatkannya Istishhah’ (minta terang) ketika hujan sangat lebat...tidak disunnahkan keluar (ke lapangan) untuk istishha’, tidak ada shalat juga tidak ada membalikkan selendang. Tetapi doa ini dibaca dalam Khutbah Jumat atau selesai shalat.”
“Disyariatkannya Istishhah’ (minta terang) ketika hujan sangat lebat...tidak disunnahkan keluar (ke lapangan) untuk istishha’, tidak ada shalat juga tidak ada membalikkan selendang. Tetapi doa ini dibaca dalam Khutbah Jumat atau selesai shalat.”
Kalau Rasulullah
adalah ahli agamanya sekaligus pemimpinnya. Sementara Mundzir bin Said al
Baluthi adalah ahli agamanya dan Abdurahman An Nashir adalah pemimpinnya.
Merekalah yang mengawal masyarakat untuk mencari solusi. Tak hanya solusi
fisik. Tetapi solusi yang lebih murah dan mudah, solusi kekhusyu’an dan
doa. Dan dengan itu, segala permasalahan selesai.
Kemana kumpulan
ulama dan pemimpin negeri ini?
Kemana mereka,
masyarakat menunggu...Sumber: parentingnabawiyah.com
Posting Komentar