Bukti
cinta orang tua sepanjang jalan adalah mereka memikirkan masa depan anaknya.
Mereka tidak ingin anak-anak kelak hidup dalam kesulitan. Persiapan harta pun
dipikirkan masak-masak dan maksimal.
Para
orang tua sudah ada yang menyiapkan tabungan, asuransi bahkan perusahaan. Rumah
pun telah dibangunkan, terhitung sejumlah anak-anaknya. Ada juga yang masih
bingung mencari-cari bentuk penyiapan masa depan terbaik. Ada yang sedang
memilih perusahaan asuransi yang paling aman dan menjanjikan. Tetapi ada juga
yang tak tahu harus berbuat apa karena ekonomi hariannya pun pas-pasan bahkan
mungkin kurang.
Bagi
yang telah menyiapkan tabungan dan asuransi, titik terpenting yang harus
diingatkan adalah jangan sampai kehilangan Allah. Hitungan detail tentang biaya
masa depan tidak boleh menghilangkan Allah yang Maha Tahu tentang masa depan.
Karena efeknya sangat buruk. Kehilangan keberkahan. Jika keberkahan sirna,
harta yang banyak tak memberi manfaat kebaikan sama sekali bagi anak-anak kita.
Lihatlah
kisah berikut ini:
Dalam
buku Alfu Qishshoh wa Qishshoh oleh Hani Al Hajj dibandingkan tentang
dua khalifah di jaman Dinasti Bani Umayyah: Hisyam bin Abdul Malik dan Umar bin
Abdul Aziz. Keduanya sama-sama meninggalkan 11 anak, laki-laki dan perempuan.
Tapi bedanya, Hisyam bin Abdul Malik meninggalkan jatah warisan bagi anak-anak
laki masing-masing mendapatkan 1 juta Dinar. Sementara anak-anak laki Umar bin
Abdul Aziz hanya mendapatkan setengah dinar.
Dengan
peninggalan melimpah dari Hisyam bin Abdul Malik untuk semua anak-anaknya
ternyata tidak membawa kebaikan. Semua anak-anak Hisyam sepeninggalnya hidup
dalam keadaan miskin. Sementara anak-anak Umar bin Abdul Aziz tanpa terkecuali
hidup dalam keadaan kaya, bahkan seorang di antara mereka menyumbang fi
sabilillah untuk menyiapkan kuda dan perbekalan bagi 100.000 pasukan
penunggang kuda.
Apa
yang membedakan keduanya? KEBERKAHAN.
Kisah
ini semoga bisa mengingatkan kita akan bahayanya harta banyak yang disiapkan
untuk masa depan anak-anak tetapi kehilangan keberkahan. 1 juta dinar (hari ini
sekitar Rp 2.000.000.000.000,-) tak bisa sekadar untuk berkecukupan apalagi
bahagia. Bahkan mengantarkan mereka menuju kefakiran.
Melihat
kisah tersebut kita juga belajar bahwa tak terlalu penting berapa yang kita
tinggalkan untuk anak-anak kita. Mungkin hanya setengah dinar (hari ini sekitar
Rp 1.000.000,-) untuk satu anak kita. Tapi yang sedikit itu membaur dengan
keberkahan. Ia akan menjadi modal berharga untuk kebesaran dan kecukupan mereka
kelak. Lebih dari itu, membuat mereka menjadi shalih dengan harta itu.
Maka
ini hiburan bagi yang hanya sedikit peninggalannya.
Bahkan
berikut ini menghibur sekaligus mengajarkan bagi mereka yang tak punya
peninggalan harta. Tentu sekaligus bagi yang banyak peninggalannya.
Bacalah
dua ayat ini dan rasakan kenyamanannya,
Ayat
yang pertama,
وَأَمَّا
الْجِدَارُ
فَكَانَ
لِغُلَامَيْنِ
يَتِيمَيْنِ
فِي
الْمَدِينَةِ
وَكَانَ
تَحْتَهُ
كَنْزٌ
لَهُمَا
وَكَانَ
أَبُوهُمَا
صَالِحًا
فَأَرَادَ
رَبُّكَ أَنْ
يَبْلُغَا
أَشُدَّهُمَا
وَيَسْتَخْرِجَا
كَنْزَهُمَا
رَحْمَةً
مِنْ رَبِّكَ
“Adapun
dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah
seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Tuhanmu.” (Qs. Al Kahfi: 82)
Ayat
ini mengisahkan tentang anak yatim yang hartanya masih terus dijaga Allah,
bahkan Allah kirimkan orang shalih yang membangunkan rumahnya yang nyaris roboh
dengan gratis. Semua penjagaan Allah itu sebabnya adalah keshalihan ayahnya
saat masih hidup.
Al
Qurthubi rahimahullah menjelaskan,
“Ayat
ini menunjukkan bahwa Allah ta’ala menjaga orang shalih pada dirinya dan
pada anaknya walaupun mereka jauh darinya. Telah diriwayatkan bahwa Allah
ta’ala menjaga orang shalih pada tujuh keturunannya.”
Ibnu
Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menukil kalimat Hannadah binti Malik
Asy Syaibaniyyah,
“Disebutkan
bahwa kedua (anak yatim itu) dijaga karena kesholehan ayahnya. Tidak disebutkan
kesholehan keduanya. Antara keduanya dan ayah yang disebutkan keshalihan adalah
7 turunan. Pekerjaannya dulu adalah tukang tenun.”
Selanjutnya
Ibnu Katsir menerangkan,
“Kalimat:
(dahulu ayah keduanya orang yang sholeh) menunjukkan bahwa seorang yang shalih
akan dijaga keturunannya. Keberkahan ibadahnya akan melingkupi mereka di dunia
dan akhirat dengan syafaat bagi mereka, diangkatnya derajat pada derajat
tertinggi di surga, agar ia senang bisa melihat mereka, sebagaimana dalam Al
Quran dan Hadits. Said bin Jubair berkata dari Ibnu Abbas: kedua anak itu
dijaga karena keshalihan ayah mereka. Dan tidak disebutkan kesholehan mereka.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ia adalah ayahnya jauh. Wallahu
A’lam
Ayat
yang kedua,
إِنَّ
وَلِيِّيَ
اللَّهُ
الَّذِي
نَزَّلَ الْكِتَابَ
وَهُوَ
يَتَوَلَّى
الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya
pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia
melindungi orang-orang yang saleh.” (Qs. Al A’raf: 196)
Ayat
ini mengirimkan keyakinan pada orang beriman bahwa Allah yang kuasa menurunkan
al Kitab sebagai bukti rahmatNya bagi makhlukNya, Dia pula yang akan mengurusi,
menjaga dan menolong orang-orang shalih dengan kuasa dan rahmatNya. Sekuat
inilah seharusnya keyakinan kita sebagai orang beriman. Termasuk keyakinan kita
terhadap anak-anak kita sepeninggal kita.
Untuk
lebih jelas, kisah orang mulia berikut ini mengajarkan aplikasinya.
Ketika
Umar bin Abdul Aziz telah dekat dengan kematian, datanglah Maslamah bin Abdul
Malik. Ia berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, engkau telah
mengosongkan mulut-mulut anakmu dari harta ini. Andai anda mewasiatkan mereka
kepadaku atau orang-orang sepertiku dari masyarakatmu, mereka akan mencukupi
kebutuhan mereka.”
Ketika
Umar mendengar kalimat ini ia berkata, “Dudukkan saya!”
Mereka
pun mendudukkannya.
Umar
bin Abdul Aziz berkata, “Aku telah mendengar ucapanmu, wahai Maslamah.
Adapun perkataanmu bahwa aku telah mengosongkan mulut-mulut anakku dari harta
ini, demi Allah aku tidak pernah mendzalimi hak mereka dan aku tidak mungkin
memberikan mereka sesuatu yang merupakan hak orang lain. Adapun perkataanmu
tentang wasiat, maka wasiatku tentang mereka adalah:
((إِنَّ وَلِيِّيَ
اللَّهُ
الَّذِي
نَزَّلَ
الْكِتَابَ
وَهُوَ
يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ)).
Anaknya Umar satu dari dua jenis: shalih maka Allah akan mencukupinya atau
tidak sholeh maka aku tidak mau menjadi orang pertama yang membantunya dengan
harta untuk maksiat kepada Allah.” (Umar ibn Abdil Aziz Ma’alim
At Tajdid wal Ishlah, Ali Muhammad Ash Shalaby)
Begitulah
ayat bekerja pada keyakinan seorang Umar bin Abdul Aziz. Ia yang telah yakin
mendidik anaknya menjadi shalih, walau hanya setengah dinar hak anak laki-laki
dan seperempat dinar hak anak perempuan, tetapi dia yakin pasti Allah yang
mengurusi, menjaga dan menolong anak-anak sepeninggalnya. Dan kisah di atas
telah menunjukkan bahwa keyakinannya itu benar.
Umar
bin Abdul Aziz sebagai seorang khalifah besar yang berhasil memakmurkan
masyarakat besarnya. Tentu dia juga berhak untuk makmur seperti masyarakatnya.
Minimal sama, atau bahkan ia punya hak lebih sebagai pemimpin mereka. Tetapi
ternyata ia tidak meninggalkan banyak harta. Tak ada tabungan yang cukup. Tak
ada usaha yang mapan. Tak ada asuransi seperti hari ini.
Tapi
tidak ada sedikit pun kekhawatiran. Tidak tersirat secuil pun rasa takut.
Karena yang disyaratkan ayat telah ia penuhi. Ya, anak-anak yang shalih hasil
didikannya.
Maka
izinkan kita ambil kesimpulannya:
- Bagi yang mau meninggalkan jaminan masa depan anaknya berupa tabungan, asuransi atau perusahaan, simpankan untuk anak-anak dari harta yang tak diragukan kehalalannya.
- Hati-hati bersandar pada harta dan hitung-hitungan belaka. Dan lupa akan Allah yang Maha Mengetahui yang akan terjadi.
- Jaminan yang paling berharga –bagi yang berharta ataupun yang tidak-, yang akan menjamin masa depan anak-anak adalah: keshalihan para ayah dan keshalihan anak-anak.
Dengan
keshalihan ayah, mereka dijaga.
Dan
dengan keshalihan anak-anak, mereka akan diurusi, dijaga, dan ditolong Allah
Sumber: parentingnabawiyah.com
Posting Komentar