PENGGULINGAN Muhammad Mursi,
tokoh Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sayap politik gerakan
Ikhwanul Muslimin yang terpilih sebagai presiden ke-5 Mesir, melahirkan
dua pertanyaan mendasar terhadap demokrasi sebagai sebuah gagasan
berbangsa dan bernegara.
Pertama, apakah demokrasi bisa diterapkan di dunia ketiga yang
mayoritas tingkat pendidikannya rendah dan kehidupan ekonominya belum
sejahtera? Kedua, apakah Islam memang kompatibel dengan demokrasi?
Di Indonesia, sebagian masyarakat juga mulai sangsi. Ini tecermin dari
kebencian kepada partai politik—unsur paling vital dalam demokrasi—kian
luas. Parpol dianggap mesin kotor produsen koruptor yang menguasai semua
lembaga negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam perspektif lain, demokrasi dianggap hanya melahirkan kegaduhan,
instabilitas, dan korupsi. Pandangan semacam ini berkembang, selain di
Indonesia, juga di Thailand, Myanmar, Malaysia, dan Filipina.
Atas nama stabilitas nasional, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej
(19/9/2006) ”merestui” Jenderal Sonthi Boonyaratkalin menggulingkan
Thaksin Shinawatra, perdana menteri yang dipilih melalui proses
demokrasi paling terbuka dan transparan di sana. Beberapa pekan
terakhir, PM Thailand Yingluck Shinawatra, adik Thaksin, menghadapi
gelombang aksi demonstrasi.
Sebelumnya, di Myanmar (1990), untuk ”mencegah kegaduhan politik lebih
lanjut”, rezim junta militer Myanmar membatalkan hasil pemilu yang
dimenangi (59 persen) Partai NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi)
pimpinan Aung San Suu Kyi. Sementara di negara-negara Islam,
penggulingan Mursi kian meyakinkan kelompok garis keras, terutama dari
jaringan Al Qaeda bahwa demokrasi bukan cara yang ”baik dan benar” untuk
meraih kekuasaan demi menegakkan nilai-nilai Islam.
Di Palestina, Hamas yang memilih jalan nonkompromi dengan Israel tak
serta-merta berkuasa meski memenangi 57 persen kursi parlemen dalam
pemilu raya 2006. Kekuasaan (sejak tahun 2005) tetap di tangan Presiden
Mahmoud Abbas dari PLO yang dianggap lebih moderat.
Menggugat demokrasi
Merebaknya gugatan terhadap demokrasi di negara-negara Islam dan
negara berkembang, seperti Indonesia, sebenarnya bukan karena demokrasi
tidak sesuai dengan budaya bangsa atau pilihan jenis demokrasinya (yang
konon terlalu liberal), melainkan juga lebih karena pemahaman yang salah
terhadap demokrasi.
Demokrasi dianggap sekadar mekanisme suksesi kekuasaan melalui rezim
pemilu dengan pemahaman ”50 + 1”. Karena itu, pemilu dengan konsep the winner takes all menjadi obsesi semua kekuatan politik. Padahal, politik modern sudah lama meninggalkan adagium the winner takes all.
Karena itu, konsep ”50 + 1” tidak bisa lagi ditafsirkan sebagai mandat
mutlak rakyat untuk berbuat apa saja atas nama demokrasi.
Dalam demokrasi modern, pemenang pemilu secara moral terikat tata nilai
(baru) universal. Misalnya, wajib menghormati HAM, termasuk hak-hak
ulayat dan kelompok minoritas, menjamin transparansi, kebebasan pers,
dan tersedianya ruang bagi perbedaan pendapat (oposisi).
Demokrasi juga mewajibkan pemenang pemilu membuka ruang kompromi dan
negosiasi dengan lawan politik guna menjaga keseimbangan kekuasaan. Bila
pintu itu ditutup, akan muncul kegaduhan. Sebab teriakan massa di
jalanan selalu terdengar lebih nyaring ketimbang puluhan juta suara di
dalam kotak pemilu.
Demokrasi tidak berhubungan dan tidak bisa dihubung-hubungkan dengan
suasana, iklim, atau budaya dan tata nilai yang tumbuh sebelumnya.
Demokrasi juga tidak memerlukan legitimasi dari tradisi, bahkan agama.
Demokrasi adalah produk peradaban yang hidup, dan akan terus tumbuh
sesuai kebutuhan zamannya.
Sebagai produk peradaban, demokrasi bisa dianalogikan pesawat terbang.
Ia semacam sarana transportasi modern yang bisa dengan cepat membawa
rakyat ke tujuan dibentuknya negara-bangsa, yaitu kesejahteraan yang
berkeadilan.
Kita tahu, persyaratan penggunaan dan perlakuan dalam pesawat itu sama
di mana-mana. Juga ada tata nilai dan aturan (adab) yang berlaku
universal dan wajib ditaati. Kalau salah satu saja dilanggar, bukan
hanya berpotensi menimbulkan kegaduhan, bahkan kecelakaan yang bisa
mengancam keselamatan pesawat dan seluruh penumpangnya. Maka, tidak
relevan lagi kita bicara tata nilai atau budaya yang ada sebelumnya
cocok atau tidak, bisa diterapkan atau tidak, bila kita dalam
berpesawat.
Maka, ketika rakyat sebuah negara (bangsa) memilih (jalan) demokrasi,
sesungguhnya mereka memilih pesawat sebagai sarana transportasi menuju
kesejahteraan. Konsekuensinya: harus menaati hal yang wajib dan ”sunah”
(aturan) berpesawat. Misalnya, wajib mengenakan sabuk pengaman saat
tinggal landas dan mendarat. Disunahkan mengenakan sabuk pengaman
sepanjang penerbangan.
Demikian pula dalam berdemokrasi. Aturan-aturannya hidup dan berkembang
demi terjaminnya kesetaraan dan keselamatan tujuan bersama. Misalnya,
pengumpulan dan penggunaan—juga pemakaian ruang publik—dikontrol secara
ketat.
Penegakan hukum dalam demokrasi menjadi mutlak, maka proses seleksi dan
perekrutan penyelenggara negara menjadi bagian paling penting. Sebab
di tangan mereka, hukum (UU) dibuat dan dilaksanakan demi kemaslahatan
seluruh rakyat.
Jejak moral
Adapun untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, karena seperti kata Lord Acton, ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”,
penilaian moral calon penyelenggara negara jadi langkah awal. Di AS dan
Eropa, moralitas seseorang biasa dikonfirmasi dalam berkeluarga dan
jejak masa lalu, misalnya saat kuliah atau ketika menjadi prajurit
apabila ia purnawirawan.
Moral menjadi penting karena di tangan orang bermoral kekuasaan, betapa
pun absolutnya, tak akan dijadikan instrumen untuk hal di luar
kepentingan umum. Jadi, untuk mencegah agar kekuasaan tak menyimpang dan
korup, bukan hanya periode kekuasaan dibatasi, melainkan juga perlu
mendeteksi kualitas moral para calon penguasa.
Kalau toh screening
moral ini meleset, dan pemimpin nasional produk pemilu itu ternyata
kemudian menyimpang dan korup, demokrasi menyediakan sarana yang cerdas,
beradab, dan lugas untuk menggantinya di tengah jalan. Begitulah jalan
demokrasi yang telah disepakati.
ADHIE M MASSARDI, Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia; Koordinator Gerakan Indonesia Bersih
Sumber: Kompas 9 Januari 2014
Posting Komentar