SUDAH
beberapa tahun ini Bank Indonesia mencanangkan program inklusi finansial
(financial inclusion) yang intinya adalah memperluas partisipasi
masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah, dalam kegiatan
perbankan, terutama simpanan dan pinjaman.
Masalahnya adalah di satu pihak masyarakat lapisan bawah sulit
mengakses fasilitas perbankan karena tidak memiliki dana untuk disimpan
dan tidak bisa memperoleh pinjaman karena tidak mampu memenuhi
syarat-syarat perbankan (unbankable),
sementara di lain pihak, bank sendiri mengalami kesulitan untuk
menjangkau masyarakat bawah karena peraturan yang dibuatnya sendiri.
Akibatnya adalah hingga kini ada sekitar 58 persen anggota masyarakat
usia dewasa yang tidak memiliki hubungan dengan bank (unbanked). Setelah menjadi wacana selama beberapa tahun, inklusi finansial bagi BI masih tetap merupakan tanda tanya besar (puzzle) yang berkepanjangan dan belum ditemukan solusinya.
Kelompok Bank Dunia sendiri juga mempunyai program inklusi finansial
ini karena keyakinan bahwa pelayanan perbankan akan bisa berperan
menentukan dalam penghapusan kemiskinan. Namun, program yang dijalankan
adalah akses pelayanan perbankan melalui jejaring atau media sosial guna
melaksanakan transfer uang atau pembayaran secara on-line. Memang produk itu merupakan inklusi juga, tetapi terhadap orang yang sudah banked. Karena itu yang bisa mengakses pelayanan ini adalah mereka yang memiliki dana dan simpanan di bank. Program melalui jejaring on-line sebenarnya lebih sejalan dengan tujuan ekspansi finansial dan bukan inklusi finansial terhadap masyarakat lapisan bawah.
Paradigma perbankan
Masalah inklusi dan ekspansi finansial ini sebenarnya bersumber atau
berakar pada paradigma perbankan konvensional itu sendiri, sebagaimana
tertulis dalam UU RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam UU
tersebut bank didefinisikan sebagai lembaga intermediasi finansial
antara pemilik dana dan masyarakat yang membutuhkan dana. Pemilik dana
adalah investor yang menanamkan modalnya dan para deposan sebagai pihak
ketiga yang menyimpan dananya di bank agar nilai uangnya dapat
dipertahankan atau bertambah di kemudian hari serta dijamin keamanannya.
Dalam hal ini, pihak ketiga juga tidak mau menanggung risiko kerugian.
Konsekuensi dari lembaga perantara keuangan finansial (financial intermediary)
adalah pertama, bank harus bertanggung jawab kepada pemilik dana.
Kedua, bank harus mampu mengelola dan mengembangkan bisnisnya secara
bertanggung jawab dengan menjalankan prinsip kehati-hatian (prudentiality) dan sesuai dengan peraturan perbankan (compliancy). Pada dasarnya, bank adalah suatu investor oriented firm (IOF), perusahaan yang berorientasi pada kepentingan investor, yaitu maksimisasi keuntungan (profit maximization)
yang menjadi dasar dan pedoman manajemen perbankan. Kedua, bank
bertanggung jawab terhadap serta dikontrol oleh otoritas moneter dan
masyarakat yang menjadi potensi nasabahnya tentang kesehatan, ketahanan,
dan kemampuannya untuk berkembang sebagai perusahaan yang mencari
keuntungan. Karena itu, bank konvensional sebenarnya adalah perusahaan
”peternakan uang” (making money out of money) atau lembaga riba yang diharamkan oleh Islam dan agama-agama dunia lainnya.
Jika kriteria pembeda adalah tujuan perbankan, kuncinya adalah menggantikan bentuk dan sifat lembaga bank dari investor oriented firm menjadi user oriented firm
(UOF), yaitu lembaga finansial yang berorientasi pada pengguna,
sebagaimana lembaga koperasi keuangan yang orisinal. Dengan perkataan
lain, tujuan lembaga bank harus diubah dari maksimisasi keuntungan
menjadi maksimisasi manfaat bagi pengguna. Menurut ajaran Islam harus
sesuai dengan tujuan-tujuan hukum syariah (al-maqosith al-syariah),
yang merupakan doktrin kesejahteraan sosial Islam itu. Dengan demikian,
bank merupakan lembaga finansial yang menekankan dampak sosial dan
lingkungan hidup atau kualitas hidup (quality of life) masyarakat atau lembaga qord al- hasan (fasilitas kebajikan).
Masalahnya adalah bahwa paradigma yang menjadi dasar sistem ekonomi
Indonesia dan dunia pada umumnya hanya pencapaian pertumbuhan ekonomi
yang bersumber dari keuntungan perusahaan. Konsekuensinya, bank
difungsikan sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian,
diperlukan pengubahan paradigma perbankan terkait dengan sistem ekonomi
itu sendiri.
Inklusi finansial sebenarnya bergantung pada taraf pendapatan yang meningkat secara merata (equitable),
yaitu di satu pihak meningkat sehingga memungkinkan setiap orang untuk
menabung dan di lain pihak bersifat merata antarsektor ataupun wilayah
di tingkat individu. Pada gilirannya, tingkat pendapatan tergantung dari
perluasan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif. Dalam konteks
Indonesia, lapangan kerja yang produktif dan remuneratif itu bersumber
dari pengelolaan yang efisien dan lestari terhadap kekayaan sumber daya
alam, khususnya yang terkait dengan lapangan kerja, yaitu sektor pertanian, kelautan, dan kehutanan.
Masyarakat Indonesia dewasa ini juga masih menanggung beban kependudukan
berupa kemiskinan massal yang bersifat absolut dan struktural.
Pemecahannya yang paling langsung adalah pembangunan yang berbasis
sumber daya alam, yaitu pertanian, kelautan, dan kehutanan, yang
didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya alam
pertambangan juga merupakan potensi yang telah digarap, tetapi hasilnya
hanya menyumbang pada pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada
kesenjangan dan bukannya pemberantasan kemiskinan dengan peningkatan
lapangan kerja. Oleh sebab itu, solusi terhadap masalah kemiskinan
adalah industrialisasi yang berbasis pertanian, kelautan, dan kehutanan
dalam sistem ekonomi kerakyatan. Tujuan antara dari pembangunan ini
adalah kemandirian ekonomi yang berbasis kedaulatan rakyat terhadap
sumber daya ekonomi.
Lembaga fasilitator
Karena itu, paradigma perbankan harus diubah dari sebagai lembaga
perantara keuangan yang berorientasi pada kepentingan investor menjadi
lembaga fasilitator perkembangan ekonomi yang berdampak sosial.
Dengan perkataan lain, bank bukanlah lembaga peternakan uang, melainkan lembaga etis atau berbasis nilai (bank based on ethical). Nilai tersebut, dalam kaitannya dengan masalah global dewasa ini, adalah dampak sosial dan lingkungan hidup (social and environmental impact). Bank yang berbasis nilai itu disebut sebagai bank sosial (social bank)
yang sudah berdiri di tingkat global dan bergabung dalam organisasi The
Global Bank based on Ethical Value (GBEV), tapi belum dikenal dalam UU
Perbankan Indonesia. Akibatnya, hingga kini di Indonesia yang ada
hanyalah bank sebagai lembaga peternakan uang (bank ribawi) yang tak
mampu menciptakan inklusi finansial.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan, dewasa ini tidak
mungkin dibentuk suatu ”bank pertanian” dengan alasan tidak ada investor
yang berminat. Sebab sebenarnya adalah bahwa para investor umumnya
terbelenggu dalam mitos pertanian sebagai sektor tradisional yang kurang
produktif dengan beban risiko yang tinggi sehingga tidak diminati oleh
lembaga asuransi. Padahal, teknologi dan manajemen dewasa ini sudah
mengubah pertanian menjadi sektor yang prospektif sehingga tidak ada
alasan untuk menolak berdirinya sebuah bank pertanian. Masalah
sebenarnya adalah bahwa hingga kini perbankan Indonesia masih dibelenggu
oleh paradigma atau bahkan mitos perbankan konvensional yang belum
mengenal paradigma bank sosial yang sudah menjadi gejala global baru
itu.
M Dawam Rahardjo, Ketua Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syarikat Islam (LEKSIS)
Sumber: Kompas 6 Januari 2014
Posting Komentar