JAKARTA, KOMPAS — Memimpin
Indonesia tidak akan berhasil hanya karena menjadi seorang presiden,
tidak akan berhasil hanya karena punya banyak menteri. Anda akan
berhasil memimpin Indonesia apabila mau menjadi otaknya Indonesia,
hatinya Indonesia, dan tulang punggung Indonesia.
Demikian konsepsi pemimpin menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang
disampaikan Presiden PKS M Anis Matta dalam wawancara khusus dengan Kompas di kantor The Future Institute, Jakarta, Kamis (9/1).
Menurut dia, pemimpin negeri ini harus menguasai wacana, memiliki
kemampuan mengarahkan atau menggerakkan emosi publik, serta mampu
merealisasikan rencana atau program-program pembangunan.
Menurut Anis, fungsi tersebut bisa dilihat dalam pemerintahan Orde
Baru. ”Militer bisa memimpin selama Orde Baru itu bukan karena Pak Harto
(Presiden Soeharto),” katanya.
Sejak awal Orde Baru, militer sudah intensif mengembangkan wacana
keindonesiaan. Bahkan, hasil seminar TNI Angkatan Darat tahun 1966
digunakan sebagai ide dasar penyusunan platform pembangunan. Pada sisi
inilah, militer berhasil memosisikan diri sebagai otaknya Indonesia.
Militer juga berhasil menggerakkan emosi masyarakat dengan menciptakan
kepercayaan diri dan optimisme bangsa. Selain itu, militer juga
menguasai pemerintahan karena diberlakukan Dwifungsi ABRI.
”Itulah kenapa dia (militer) mampu mengeksekusi (merealisasikan) semua
rencana pembangunan yang dicanangkan sebelumnya,” ujarnya.
Pelajaran untuk parpol
Mengambil pengalaman pemerintahan Orde Baru bukan berarti PKS
menginginkan militer berkuasa kembali. Peran yang diambil militer
sebagai otak, hati, dan tulang punggung bangsa itulah yang seharusnya
menjadi pelajaran partai politik sebagai pabrik pemimpin bangsa.
Seharusnya, setelah Dwifungsi ABRI dihapuskan pada era Reformasi,
parpol bisa mengambil peran yang sebelumnya dilakukan kelompok militer.
Namun, hingga 15 tahun reformasi, belum ada satu pun kekuatan politik
yang mampu. PKS sendiri diakui belum mampu menjalankan fungsi sebagai
otak, hati, dan tulang punggung Indonesia.
Menurut Anis, 10 tahun pertama habis untuk membangun infrastruktur dan
kapasitas lain untuk menjadi partai modern. Penguatan ideologi dan
penokohan sebenarnya sudah dirancang dilakukan pada 10 tahun kedua PKS,
tetapi terhenti karena terganjal kasus hukum yang menimpa mantan
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Setelah reformasi tahun 1998, menurut Anis, semestinya fokus perhatian
pemerintah juga berubah. Perhatian tak lagi difokuskan pada politik
seperti Orde Lama atau fokus ke ekonomi seperti pada Orde Baru, tetapi
fokus kepada masyarakat sipil.
Pasalnya, politik dan ekonomi sudah menemukan keseimbangan baru. Begitu
pula sumber-sumber ketegangan lain, seperti relasi agama dan negara,
dialektika demokrasi dan pembangunan, serta hubungan pusat dan daerah
sudah menemukan keseimbangan baru. Keseimbangan baru juga terlihat
dengan munculnya relasi antara negara, agama, dan masyarakat sipil.
Akan tetapi, sayang, keseimbangan baru itu muncul bersamaan dengan
fenomena baru, yakni ledakan demografi baru. Muncul sebuah generasi baru
yang lahir tahun 1990-an, yang tak punya asosiasi emosional dan
ideologi terhadap sumber ketegangan pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Mereka lahir di tengah ideologi baru, yakni demokrasi dan pasar bebas.
Persoalan muncul karena para politisi atau calon pemimpin bangsa justru
masih menggunakan isu-isu lama, seperti kedaulatan, integrasi, dan
nasionalisme. Yang menjadi perbincangan lembaga-lembaga politik tidak
sesuai dengan yang dipikirkan dan dibutuhkan masyarakat.
Masyarakat yang cara pandangnya sudah berubah juga tidak merasakan
manfaat negara dan semua institusi politik. Akibatnya, muncul
ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara dan institusi politik.
Kondisi itu juga menyebabkan terjadi disorientasi sehingga bangsa
kehilangan arah. Kegaduhan terjadi di mana-mana, tetapi sebenarnya tidak
ada hal substansial yang menjadi pokok perdebatan.
Bukan pemimpin otoriter
Untuk menghadapi persoalan baru tersebut, diperlukan pula pendekatan
baru dalam model kepemimpinan. Masyarakat tidak memerlukan lagi pemimpin
yang otoriter atau pemimpin yang hanya mengandalkan wibawa. Pemimpin
yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mengandalkan gagasan, memiliki
kemampuan persuasif, dan kemampuan koordinasi. Anis menganalogikan
pemimpin seperti pemandu sorak.
Dengan kata lain, tugas pemimpin adalah menciptakan lingkungan
strategis bagi masyarakat untuk terus berkembang. Masyarakat harus
dibuat taat kepada pemimpin karena pemimpin memiliki gagasan besar yang
bermanfaat untuk masyarakat.
Pendekatan semacam itulah yang juga dilakukan PKS. Kader taat bukan
karena takut pada otoritas partai, melainkan karena sadar pada kebenaran
dalam gagasan yang dibawa pemimpin mereka.
Bicara masalah ketegangan antara Islam, modernitas, dan keindonesiaan,
Anis mengatakan, itu sudah menjadi masa lalu. Saat ini, ketegangan
segitiga pada masa lalu tersebut semestinya dijadikan dasar untuk
membangun masa depan Indonesia.
PKS memiliki gagasan mengintegrasikan agama, pengetahuan, dan
kesejahteraan untuk membangun masa depan bangsa. PKS tidak ingin lagi
ada komplikasi antara Islam dan keindonesiaan atau Islam dengan
modernitas.
Hal itu karena Islam yang dibawa PKS merupakan Islam yang moderat dan
terbuka. Gagasan itulah yang melandasi PKS memutuskan menjadi parpol
terbuka sejak tahun 2008.
Dengan menyatukan agama, pengetahuan, dan kesejahteraan, Indonesia
diharapkan akan menjadi bangsa yang religius, lebih berpengetahuan,
tetapi sejahtera. Agama akan memberikan basis orientasi dan basis moral.
Pengetahuan memberikan basis kompetensi dan basis produktivitas. Adapun
kesejahteraan merupakan cita-cita Indonesia yang tercantum dalam
konstitusi, yakni menjadi negara adil dan makmur.
Dengan penyatuan agama, pengetahuan, dan kesejahteraan itu, Indonesia
diyakini akan menjadi model bagi negara-negara Islam dan juga
negara-negara Barat. (Anita Yossihara)
Sumber: Kompas 16 Januari 2014
Posting Komentar