Suatu hari saya
mendapatkan SMS dari Pak Muhaimin Iqbal pemilik geraidinar.com. Beliau bertanya
apakah bisa dikatakan bahwa ilmu selain Al Quran adalah Dzon
(prasangka).
Berikut saya
berikan jawaban lebih jelas. Perlu diketahui di awal bahwa ilmu dibagi dua: Dzonny
dan Qoth’iy (Yaqiny). Ilmu yang bersifat Dzon adalah
ilmu yang tidak mencapai tingkat yakin tapi lebih tinggi dari sifat ragu. Al
Jurjani mendefinisikan dengan: meyakini bahwa ini lebih tepat tapi masih
mungkin ada yang membantahnya. Adapun Ar Roghib Al Ashbahani mendefinisikan:
sesuatu yang berasal dari tanda-tanda, ketika menguat ia menjadi ilmu, ketika
melemah sekali ia tidak lebih dari prasangka yang lemah.
Untuk itulah
ilmu yang bersifat Dzon sangat mungkin dibantah dan dibatalkan oleh ilmu
atau penelitian berikutnya atau yang lainnya. Sementara sifat ilmu Qoth’iy
(Yaqiny) tidak ada pertentangan dan benturan di dalamnya dan tidak mungkin
ada ilmu berikutnya yang membatalkan kebenarannya.
Karenanya salah
satu ilmu yang Qothiy adalah Al Quran Al Karim. Karena Al Quran dalam
keyakinan orang beriman tidak mungkin ada keraguan di dalamnya apalagi ada yang
membatalkan kebenarannya. Dalam bukti yang telah berjalan 15 abad sejak
diturunkan dan telah melewati berbagai zaman, terbukti tidak ada satupun ilmu yang
bisa membuktikan bahwa salah satu ayatnya salah.
Nah, pagi ini
saya berbicang lagi dengan Pak Muhaimin Iqbal. Seperti biasa, perbincangan
dengan beliau adalah perbincangan Al Quran yang diaplikasikan dalam berbagai
dunia nyata, di antara yang paling seru adalah dunia pertanian. Beliau
mengisahkan beberapa pertemuan akademik, duduk bersama para pakar di bidang
pertanian dan lingkungan. Ada kesimpulan yang menarik dari semua itu: ilmu
mereka dzon.
Begitulah, kita
akan semakin yakin di bidang ilmu apapun, tanpa kepastian wahyu sering hanya
menghasilkan ilmu dzon. Jika ada peradaban yang dibangun dari ilmu-ilmu dzon
tersebut, maka hasilnya adalah peradaban dzon.
Seperti yang
dijelaskan di atas bahwa ilmu dzonny bersifat tak mencapai tingkat
yakin. Artinya, ketika ada keyakinan yang datang maka sangat mudah jatuh ilmu
tersebut. Padahal bisa jadi ilmu itu telah diedarkan ke seluruh dunia dan telah
menjelma menjadi teori-teori berikutnya kemudian telah melahirkan berbagai
bangunan megah, sistem, kebijakan dunia dan sebagainya. Ketika telah sebesar
dan seluas itu, maka tentu tak semudah membalik telapak tangan untuk menerima
keyakinan yang datang. Apalagi bagi para pecundang, atau para pemain pragmatis,
oportunis, atau dengan bahasa yang lebih jelas kafirin dan munafikin.
Ilmu Dzonny
hanya lebih tinggi sedikit dibandingkan keraguan. Itulah mengapa Al Quran yang
sering mengkritik peradaban orang-orang kafir yang berbasis Dzon
berkata,
“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan (dzon) saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Yunus: 36)
Itu artinya,
sehebat apapun peradaban berbasis dzon tidak akan pernah sampai pada
kebenaran sesuatu. Ketika mereka menanam dan mengurusi lingkungan tak pernah
sampai pada kebenaran. Ketika mereka mengurusi pendidikan dan keluarga tak
pernah sampai pada kebenaran. Ketika mereka memimpin dengan semua teori politik
dan kepemimpinan tak pernah sampai pada kebenaran. Ketika mereka mengelola
kesehatan tak pernah sampai pada kebenaran. Ketika mereka menampung keuangan
umat tak pernah sampai pada kebenaran. Ketika mereka menemukan teknologi tak
pernah sampai pada kebenaran. Tak pernah sempurna dan tak bisa bahkan sekadar
meniru peradaban Islam yang telah lewat.
Supaya kalimat
ini tak hanya menjadi klaim, mari kita lihat contoh berikut. Untuk dunia
kesehatan, dulu peradaban Islam menyebut Bymaristan untuk rumah perawatan
pasien. Adapun hari ini disebut rumah sakit. Selain penyakit yang semakin tak
terkendali dan sulit ditemukan obatnya oleh para ahli kesehatan zaman ini, mari
lihat yang dilakukan oleh Bymaristan ketika pasien yang datang berobat:
- Setiap pasien yang datang akan dicatat namanya
- Diperiksa oleh kepala dokter detak jantungnya, urinenya dan ditanyakan berbagai gejalanya
- Jika oleh dokter pemeriksa dinyatakan hanya rawat jalan, maka dibuatkan resep saja
- Resep dibawa ke bagian apotek untuk mengambil obatnya
- Jika dokter menyatakan harus dirawat, maka akan langsung diserahkan kepada tim perawatnya (dokter pengawas, perawat dan pelayan kebutuhan pasien)
- Setiap pagi dilakukan kunjungan dokter ke semua pasien
- Jika telah sembuh, pasien dipersilakan pulang dengan diberi baju baru dan beberapa keping uang emas sebagai ganti selama sakit dan masa pemulihan tidak mampu mencari nafkah
Pertanyaannya,
apakah semua poin di atas mampu ditiru utuh oleh peradaban rumah sakit hari
ini? Anda pasti sepakat menjawab: Tidak!
Ya, karena
mereka tak akan sampai pada kebenaran yang sesungguhnya.
Semua ini
menjadi lebih mudah dipahami ketika kita membaca ayat berikut:
“Allah
telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah
menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa
(logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada
(pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan
(bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu
yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Qs.
Ar Ra’d: 17)
Ayat tersebut
menyampaikan perumpamaan antara yang haq dan bathil. Otomatis, menyampaikan
tentang kualitas para pembawanya. Maka, mereka yang tidak minat dengan Al Quran
sebagai panduan Qoth’iy di berbagai bidang ilmu akhirnya hanya
menjadi sekumpulan zabad (buih). Dan buih akan hilang walau menggunung.
Sekarang kita
paham:
Generasi zabad,
wajar hanya menghasilkan peradaban dzon.
Dan itu bukan
anak-anak kita di kemudian hari!
Budi Ashari
Sumber: parentingnabawiyah.com
Posting Komentar