Pertaruhan Prinsip Bung Kecil

Kamis, 09 Maret 20170 komentar

Seolah-olah aku diingatkan kepada rakyatku... diingatkan kepada segala sesuatu yang menjadi ikatan antara aku dan nasib dan kesedihan rakyatku (Sutan Sjahrir dalam suratnya kepada Maria Duchateau saat akan dibuang ke Boven Digoel, 1934).

Siang itu, tidak banyak warga lalu lalang di Nagari Koto Gadang di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Deretan rumah modern berdiri berdampingan dengan rumah gadang di lorong-lorongnya yang sempit. Sebuah papan jalan di depan Balai Adat Koto Gadang menuliskan nama: Sutan Sjahrir.
Sjahrir? Ada nomor teleponnya? Coba telepon dulu," jawab sekelompok orang di sebuah gang saat ditanya rumah keluarga Sjahrir, akhir Februari lalu.

Tentu tidak mungkin menelepon Sjahrir karena ia telah wafat setengah abad lalu, tepatnya 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Namun, jawaban sekelompok orang itu menyentakkan kesadaran. Apakah kini tidak banyak lagi orang yang mengingat Sjahrir? Apakah perdana menteri pertama Indonesia (15 November 1945-26 Juni 1947) itu hampir dilupakan?

Koto Gadang adalah tempat kelahiran ayah Sjahrir, Mohammad Rasad Gelar Maharaja Soetan. Sekitar 50 persen penduduk nagari yang kini berjumlah sekitar 2.600 jiwa itu merantau ke luar Koto Gadang. Para datuk atau pimpinan adat di nagari itu, yang berjumlah 24 orang, pada hari-hari biasa juga tidak ada di Koto Gadang.

Sebuah rumah kayu yang diyakini sebagai rumah petilasan keluarga Sjahrir akhirnya ditemukan. Berada di lorong jalan yang masih termasuk ke dalam Jalan Rohana Kudus, rumah itu terlihat masih baru. Namun, bangunan yang berdiri di atas lahan bekas rumah keluarga Sjahrir yang beberapa tahun lalu terbakar itu tampak kosong.

JD Legge dalam bukunya, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, menulis, ada anggapan enteng terhadap Sjahrir. Padahal, dia berperan besar pada pergerakan nasional hingga perjuangan memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia di dunia internasional.

Di akhir karier politiknya, tudingan melawan pemerintahan Soekarno menjadikan Sjahrir tahanan politik pada Januari 1962. Ia ditahan berpindah-pindah dari Madiun ke Jakarta kemudian sakit lalu dirawat di Swiss. Ia pergi ke Swiss sebagai tahanan politik dan saat meninggal, pemerintah menganugerahinya gelar pahlawan nasional.

Rasional

Bung Kecil, demikian Sjahrir sering dipanggil karena tingginya 1,60 meter, dilahirkan di Padang Panjang, tempat ayahnya bertugas sebagai jaksa pada 5 Maret 1909. Keluarganya lalu berpindah ke Medan, Sumatera Utara, karena ayahnya bertugas di daerah itu. Di Medan, Sjahrir bersekolah di Europese Lagere School (ELS) lalu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota yang sama. Tahun 1926, ia sekolah di Algemeen Middlebare School (AMS) di Bandung kemudian masuk Fakultas Hukum di Universiteit Amsterdam, Belanda, pada 1929.

Keterlibatannya dalam pergerakan nasional menonjol ketika ia menjadi salah satu dari 10 pendiri Jong Indonesie atau Pemoeda Indonesia, tahun 1927, di Bandung. Saat itu, Soekarno telah jadi tokoh ternama di Hindia Belanda.

Pada persinggungan awal Sjahrir dengan Soekarno ini, Rudolf Mrazek yang menulis biografi Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia, mencatat keistimewaan watak Sjahrir. Dalam salah satu acara Pemoeda Indonesia di mana Sjahrir menjadi ketua pertemuan, ia mengkritik Soekarno.

"Sjahrir memukulkan palunya dan mengingatkan Soekarno, secara tegas, agar tidak terlalu banyak menggunakan bahasa Belanda dalam pertemuan kaum nasionalis dan tidak berbicara kasar kepada kaum wanita yang hadir," tulis Mrazek.

Karakter Sjahrir ini juga meninggalkan kesan bagi Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial-Demokrat di Belanda, teman ia belajar sosialisme. "Sjahrir terbuka, langsung... temperamennya matang secara alamiah di negeri Belanda. Saya tak pernah menemukan pada dirinya stereotip mentalitas Timur. Dia langsung, tak suka berputar-putar, dan sepenuhnya terbuka menghadapi gagasan-gagasan orang lain," kenang Tas seperti dikutip Mrazek.

Karakternya yang terbuka, demokratis, anti feodalisme, anti imperialisme, dan anti fasisme ini tumbuh sejak ia sekolah di AMS dan aktif menulis di majalah Pemoeda Indonesia. Tulisannya di majalah ini sangat menyengat. Mengejek kaum priayi sebagai ambisius, haus pangkat, dan tak berguna.

Karakter Sjahrir itu berakar pada tradisi Minangkabau. Sebagaimana umumnya perantau Minang, Sjahrir punya kemampuan beradaptasi yang baik. Sejarawan Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, menilai, karakter Sjahrir sebagai wujud penerimaan atas perkembangan terbaru di dunia rantau.
"Orang Minang punya pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Orang Minang berpikir inklusif. Ketika di persimpangan jalan, ia akan menimbang mana yang paling bermanfaat," kata Mestika.

Prinsip perjuangan

Di Belanda, Sjahrir banyak bergaul dengan mahasiswa Sosdem, bahkan ikut jadi aktivis buruh. Ia membaca Karl Kautsky, Otto Bauer, Hendrik de Man, dan tentu saja Karl Marx dan Friedrich Engels.
Baru dua tahun di Belanda, persisnya pada 1931, Sjahrir diminta pulang ke Indonesia oleh Hatta. Pasalnya, ada kabar Soekarno ditangkap Belanda. Saat itu Hatta dan Sjahrir sama-sama anggota Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Sesampainya di Tanah Air, Sjahrir mengorganisasikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) Baru untuk membedakan dengan PNI Soekarno. Ia bergerak di bawah tanah, melakukan kaderisasi generasi muda. Perjuangannya berfokus pada pendidikan atau kaderisasi. Ia tak menyukai agitasi dan mobilisasi massa.

Sjahrir menghidupi PNI Baru dengan menggelar kursus-kursus politik bawah tanah untuk mahasiswa, pemuda, dan bekas anggota PNI. Untuk memudahkan pemahaman kader, ia membuat 150 pertanyaan sederhana mengenai politik dan menyediakan jawabannya.

Tahun 1932, Hatta selesai kuliah dan kembali ke Indonesia. Sjahrir menyerahkan PNI Baru kepada Hatta dan berencana kembali ke Belanda untuk meneruskan kuliahnya. Namun, Belanda mencium gelagat gerakannya. Sjahrir dan Hatta ditangkap tahun 1934. Mula-mula mereka ditahan di Cipinang, lalu dipindah ke Boven Digoel tahun 1935. Keduanya lalu dipindah ke Banda Neira (1936-1942) hingga datangnya masa pendudukan Jepang.

Kedatangan Jepang menjadi pertaruhan baru bagi prinsip Sjahrir yang anti fasis. Ia menolak berkolaborasi dengan Jepang. Dalam pamflet politiknya berjudul Perdjoangan Kita, tahun 1945, Sjahrir mengkritisi pemimpin revolusi yang berkolaborasi dengan Jepang. Ia menilai, kemerdekaan tidak tercapai dengan semestinya karena dua sebab. Pertama, karena pemimpin tidak berjiwa kuat.
"Kedua adalah bahwa banyak di antara mereka merasa berutang budi kepada Jepang yang mengurniakan persediaan Indonesia Merdeka pada mereka. Akhirnya dianggapnya bahwa ia menjadi pemerintah, ialah oleh karena bekerja bersama dengan Jepang," kata Sjahrir.

Beberapa bulan setelah kemerdekaan, Sjahrir memperkuat peran Komite Nasional Indonesia Poesat (KNIP) sebagai parlemen berdasarkan Makloemat X, 16 Oktober 1945, yang ditandatangani Hatta.
Sebagai kelanjutannya, Soekarno didesak mengeluarkan Makloemat 3 November 1945 yang membuka kesempatan pendirian partai politik. Sistem pemerintahan bergeser menjadi parlementer dan Sjahrir menjadi PM. Tahun 1952, ketika sudah tidak terlibat di dalam pemerintahan, Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Sjahrir menikah dengan Siti Wahyunah Saleh pada 1951 dan meninggalkan dua anak: Kriya Arsjah dan Siti Rabyah Parvati atau Upik Sjahrir.

Pada akhir Februari, di rumahnya di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, Upik mengatakan, "Ayah saya berjuang bukan demi kekuasaan atau kekayaan. Ia berjiwa besar. Meski dijadikan tahanan politik, ia tidak pernah membenci atau dendam kepada orang yang berseberangan sikap dengannya. Jika melihat elite politik kita sekarang, keteladanan dan jiwa besar itu hampir tidak ada lagi."
(Rini Kustiasih/Agnes Theodora) 

Sumber: Kompas, 9 Maret 2017
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786