Satu Pangkal, Dua Soal

Rabu, 09 September 20150 komentar

Industri perbankan Indonesia menghadapi dua persoalan sekaligus, yakni masih lambatnya pertumbuhan kredit dan meningkatnya tren kredit bermasalah. Kedua persoalan itu berpangkal pada satu hal yang sama, yakni pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Statistik Perbankan Indonesia Juni 2015 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Selasa (8/9) menunjukkan, total kredit Rp 3.861,17 triliun. Penyaluran kredit itu tumbuh 10,47 persen selama setahun. Namun, data uang beredar dari Bank Indonesia, pekan lalu, menunjukkan, kredit pada Juli 2015 hanya tumbuh 9,4 persen per tahun menjadi Rp 3.859,6 triliun.

Inilah kali pertama dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan kredit bank di bawah 10 persen. Pelambatan pertumbuhan kredit itu langsung berdampak terhadap pendapatan bunga bank karena selama ini bank masih bertumpu pada pendapatan dari penyaluran kredit kepada pihak ketiga.
Pendapatan bunga industri perbankan umum pada Juni 2015 hanya tumbuh 13,55 persen menjadi Rp 218,556 triliun. Adapun beban bunga untuk simpanan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 19 persen menjadi Rp 94,761 triliun. Struktur beban bunga DPK bank umum masih didominasi oleh beban bunga deposito Rp 76,488 triliun. Adapun beban bunga giro hanya Rp 7,1 triliun dan beban bunga tabungan Rp 11,13 triliun.

Di tengah pelambatan pertumbuhan kredit, bank masih menghadapi persoalan lain berupa meningkatnya rasio kredit bermasalah terhadap kredit yang disalurkan kepada pihak ketiga. Per Juni 2015, total kredit macet (NPL) pada penerima berbentuk lapangan usaha dan bukan lapangan usaha mencapai Rp 97,959 triliun atau sekitar 2,55 persen dari total kredit yang disalurkan bank umum kepada pihak ketiga bukan bank sebesar Rp 3.828 triliun.

NPL sebesar 2,55 persen secara gross itu memang masih lebih kecil ketimbang batas aman yang ditentukan, yakni 5 persen. Namun, naiknya NPL membuat regulator dan bank perlu waspada.
Kredit bermasalah itu terjadi karena debitor bank mengalami gangguan arus kas yang disebabkan oleh kelesuan ekonomi. Dalam dua triwulan I-2015, produk domestik bruto (PDB) hanya tumbuh 4,72 persen dan 4,67 persen.

Selama ekonomi tumbuh melambat, sektor riil mengalami tekanan karena permintaan berkurang, sementara biaya input produksi justru meningkat karena rupiah terdepresiasi. Industri manufaktur Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor sehingga pelemahan nilai tukar rupiah yang mencapai Rp 14.285 per dollar AS akan meningkatkan biaya pembelian bahan baku.

OJK sebagai regulator bank merespons pelambatan pertumbuhan ekonomi itu dengan merelaksasi kebijakan restrukturisasi kredit. Relaksasi itu tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional bagi Bank Umum. Adapun relaksasi kebijakan restrukturisasi bank syariah diatur dalam Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Melalui ketentuan itu, syarat restrukturisasi cukup dengan memperhatikan kemampuan pembayaran cicilan debitor. Dengan syarat ini, bank bisa lebih dini melakukan restrukturisasi sehingga kredit yang sudah disalurkan tidak berubah menjadi kredit macet.

Selain mengurangi potensi terjadinya kredit macet, restrukturisasi lebih dini akan menyebabkan bank bisa mengurangi alokasi cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau provisi. Hal ini terjadi karena bobot risiko yang harus dihitung bank menjadi lebih kecil dari sebelumnya.
Tahun ini dinilai merupakan tahun yang cukup berat bagi bank. Namun, bank diharapkan dan diupayakan tetap stabil agar perekonomian nasonal terjaga. (A Handoko)

Sumber: Kompas 9 September 2015
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786