TENTU saja tidak ada perasaan senang dalam kematian. Tak seorang pun seharusnya merayakan kematian. Namun, malangnya, saya harus mengatakan bahwa (Ariel) Sharon tidak meninggalkan kenangan manis bagi rakyat Palestina,” kata Mustafa Barghouti, seorang tokoh Palestina, tentang kematian mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon (85), Sabtu (11/1).

Sungguh elok komentar Barghouti yang dikutip BBC News itu. Barghouti masih melanjutkan komentarnya tentang PM Israel tahun 2001-2006 itu. ”Sayangnya, ia menempuh jalan perang dan agresi, dan kegagalan besar dalam menciptakan perdamaian dengan rakyat Palestina.”

Membaca komentar Barghouti, mengingatkan ulang akan frasa dalam bahasa Latin—De mortuis nil nisi bonum—yang arti lurusnya, ’Tentang yang meninggal, tidak ada lain kecuali hal baik.’ Kadang frasa yang bagian dari kalimat—De mortuis nil nisi bonum dicendum est—ini diterjemahkan secara bebas menjadi ’Jangan membicarakan yang jelek-jelek tentang orang yang sudah meninggal.’

Akan tetapi, sulit kiranya bicara yang baik-baik tentang Ariel Sharon. Beda halnya kalau kita bicara tentang Nelson Mandela. Begitu Bapak Afrika Selatan itu diberitakan meninggal, semua hal yang baik dibicarakan banyak orang. Sangat sulit bicara kejelekan, kejahatan, sisi jelek, sisi buram, atau bahkan sisi hitam dari Mandela. Oleh karena Mandela memang tokoh yang baik, yang memberikan seluruh hidupnya untuk kemanusiaan, untuk orang lain. Dalam diri Mandela tidak ada benci dan dendam terhadap orang lain, bahkan terhadap orang yang telah menyengsarakannya, yang telah menindasnya.

Karena itu, sangat pas kalau kita mengutip kata-kata bijak dalam bahasa Latin tersebut: De mortuis nil nisi bonum. Memang demikianlah senyatanya. Beda halnya dengan Ariel Sharon.

Begitu nama ”Ariel Sharon” disebut, ingatan orang langsung pada serangan sangat kejam terhadap para pengungsi Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila, Lebanon, 1982. Sharon yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel dituding sebagai otak yang ada di balik pembantaian para pengungsi Palestina. Jumlah korban tewas berkisar 328 orang hingga 3.500 orang. Itulah sebabnya Sharon disebut sebagai ”Jagal dari Beirut”.

Ariel Sharon dikenal sebagai tokoh yang tidak pernah menunjukkan sikap lunak, terutama kepada bangsa Palestina. Ia sangat menentang perjanjian perdamaian dengan Palestina. Ketika awal tahun 1990-an ia ditunjuk menjadi menteri perumahan, segeralah ia mendorong pembangunan besar-besaran permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza, wilayah yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari 1967. Meski pada tahun 2005 Sharon secara sepihak menarik para pemukim Yahudi di Jalur Gaza dan beberapa wilayah di Tepi Barat, langkah itu lebih dimaksudkan untuk kepentingan politik dalam negeri.

Sharon juga sangat menentang kebijakan PM Ehud Barak yang akan mengembalikan 95 persen wilayah Tepi Barat kepada Palestina. Ariel Sharon menyatakan, tanah yang akan diserahkan kepada Palestina hanya 42 persen. Ketika tahun 1998 ditunjuk oleh PM Benjamin Netanyahu menjadi menteri luar negeri, sikap tegas Sharon jelas. Dia menjadi pendukung utama kebijakan Netanyahu yang dikenal dengan sebutan ”tidak tiga”: tidak untuk negara Palestina, tidak untuk pembagian Jerusalem dengan Palestina, dan tidak untuk kembalinya Dataran Tinggi Golan.

Pada akhirnya, Sharon-lah yang menjadi pemicu pecahnya gerakan Intifadah kedua setelah kunjungannya ke Temple Mount (2000). Kunjungan itu bisa ditafsirkan sebagai penyampaian pesan kepada dunia bahwa bangsa Palestina tidak akan mendapatkan hak kedaulatan atas Al-Aqsa, atas Jerusalem, yang diperjuangkan selama ini.

Ketika pada 2006 Sharon terkena stroke, kemudian koma, dan akhirnya meninggal Sabtu lalu, cerita tentang dirinya tidak pernah seindah cerita Nelson Mandela.