Anak-anak kita sedikit lebih baik dari 
anak-anak Honduras di Amerika Latin sana, karena posisinya merupakan 
jurukunci terendah di antara negara-negara yang ikut dalam penilaian 
hasil belajar mengajar yang diselenggarakan setiap 3 tahun.
 
Negara-negara terbaik, berada pada Asia Timur, seperti Jepang, Korea 
Selatan, China, Hongkong, Taiwan dan Singapura. Anak-anak bermata sipit 
dari sana secara konsisten menempati urutan terbaik semenjak 
dilakukannya penilaian capaian nilai matematika, sains dasar dan bahasa.
 
Taiwan, China, dan Korea Selatan sejak 1945 prestasi ekonomi sebenarnya 
hampir sama dengan Indonesia, tapi dalam kurun waktu 50 tahun mereka 
telah meninggalkan Indonesia di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan 
ekonomi. Salah satu penjelasannya adalah anak-anak mereka mendapatkan 
pendidikan yang bermutu, dengan metodologi, sequences belajar dan 
tingkat kompetisi yang tinggi.
 
Pantas saja ketika penulis melakukan perjalanan ke Inggris, menemukan 
dominasi anak-anak China, Jepang dan Korea di sana. Bahkan ditemukan 
indikasi anak-anak China kendatipun kemampuan bahasanya Inggrisnya 
lemah, namun ketika nilai mereka A- mereka akan menangis dan sangat 
kecewa. Karena nilai yang mereka cari dan merupakan standar A atau A+, 
sehingga tidak mengherankan akhirnya para pemuncak dunia dalam berbagai 
bidang ilmu akan lahir dari anak-anak yang dibesarkan di Asia Timur, 
berbanding terbalik dengan anak-anak Indonesia.
Anak-anak Indonesia merasa paling senang
 di sekolah dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari negara lain.
 Senang, karena mereka bisa bermain-main, tanpa adanya persaingan dalam 
proses belajar mengajar. Mereka juga jarang yang mendapatkan proses 
belajar yang benar kecuali mereka menambah ilmunya di luar melalui les 
private dengan segala konsekwensi biaya yang ditimbulkan.
 
Anak-anak kita senang sekolah karena di rumah bosan tidak memiliki 
teman. Anak-anak kita bahkan sekarang semakin senang ke sekolah ketika 
mereka diantar dan dijemput oleh orang tua. Mereka berbelanja lebih 
banyak untuk menggunakan handphone untuk chatting. Tetapi kalau dilihat 
kamarnya, tidak akan tersedia buku bacaan yang wajib, tidak akan ketemui
 anak-anak asyik di pustaka untuk mencari ensiklopedi atau membaca 
cerpen atau sejenisnya.
 
Apalagi jika uang sekolah ditetapkan disertai uang pembangunan, akan 
terjadi penolakan oleh orang tua murid. Singkat kata dukungan orang tua 
terhadap pendidikan anak sebenarnya berada pada titik nadir. Orang tua 
pun suka membeli rokok dibandingkan mengeluarkan uang untuk pendidikan. 
Buku-buku yang dikarang oleh penulis dan dicetak juga berbagai macam 
ragam kualitasnya. Buruknya pengelolaan buku selama ini menyebabkan juga
 persoalan pendidikan kita menjadi lebih buruk.
 
Sebaliknya anak-anak di Korea Selatan, datang ke sekolah, dengan rasa 
ingin tahu yang tinggi. Guru-guru bahkan sering mencari bahan baru dan 
jurnal untuk dibahas di dalam kelas, sehingga dari hari ke hari peserta 
didik mendapatkan pemahaman yang semakin maju.
 
Dari berbagai laporan menunjukkan, biaya yang dikeluarkan orang tua 
untuk pendidikan bisa dua kali lebih besar dibandingkan dengan biaya 
yang disediakan oleh negara.
 
Dari mana memulainya?
 
Sebenarnya akar masalahnya kompleks. Dua di antaranya, guru dan 
kelembagaanya, kedua sistem dan fasilitas pendukung. Kedua aspek ini 
mestinya dijadikan sebagai sasaran dimulai gerakan memperbaiki mutu 
pendidikan.
 
Kita memang bisa sepakat, nalar bukanlah satu satunya tujuan 
pembelajaran. Karena selain nalar, keterampilan dan pembentukan sikap 
dan kepribadian penting. Yang lebih penting lagi dari semua itu, 
anak-anak semakin kuat imannya, semakin kuat ihsannya dan semakin 
menjalankan agamanya.
 
Persoalan guru mesti dilihat dari akar masalahnya, dari mana dan 
bagaimana calon guru diseleksi di sekolah-sekolah yang menghasilkan 
calon guru. Di Belanda, sangat jelas ketentuan yang menyatakan seorang 
guru matematika mesti mendapatkan nilai A sewaktu mereka mendapatkan 
pembelajaran di universitas. Masa 6 tahun waktu belajr di pendidikan 
tinggi memang menjadi dasar minimum diangkatnya seseorang menjadi guru.
 
Di Indonesia semua penyelanggara pendidikan keguruan belum memenuhi 
standar dosen. Mengingat paling tinggi 20% jumlah dosen mereka yang 
memiliki kualifikasi pendidikan yang memenuhi standar dosen (S-3). 
Universitas LPTK nampaknya mengalami kemunduran, karena larut dalam 
proses pengajaran sehingga jumlah jam mengajar dosen-dosennya melebihi 
ambang batas. Sedikit sekali dosennya yang memiliki karya ilmiah dalam 
memajukan pendidikan. Oleh karenanya yang merasa berteriak dengan 
kondisi ini adalah pemerhati dan pada umumnya adalah kalangan 
masyarakat.
 
Saat ini betapa banyak kelembagaan LPTK yang swasta dan negeri 
overcapacity, menyelenggarakan pendidikandengan dosennya yang minimal. 
Sebaiknya penataan kelembagaan LPTK menjadi tugas utama dalam reformasi 
penyediaan guru.
 
Pemetaan kembali guru juga sangat perlu, mereka akan masuk ke dalam 
setidaknya 4 kategori. Pendidikan belum cukup, pendidikan cukup salah 
penempatan, pendidikan cukup dan bagus fungsinya, guru tidak layak lagi 
karena sudah tua atau sakit-sakitan atau jenis lainnya yang menghalangi 
posisinya. Berbagai penelitian ditemukan guru belum memenuhi standar 
pendidikan. Ketika ini yang terjadi maka persoalan kemudian, penguasaan 
ilmu mesti lebih penting dibandingkan penguasaan pedagogi.
 
Pemerintah segera menyiapkan institusi yang benar-benar credible untuk 
memenuhi kekurangan kompetensi guru ini.Sambil meningkatkan 
profesionalisme guru, suatu saat sertifikasi guru sebenarnya bagus 
dikaitkan dengan prestasi pedagogi.Berhenti dengan sendirinya jika belum
 menguasai. Caranya mudah, di tes lagi.
 
Di samping masalah guru, sekolah-sekolah sebenarnya dapat mewajibkan 
anak didiknya membaca bahan bacaan selama jenjang SD, SMP sampai ke SMA,
 sehingga kemampuan membaca anak-anak menjadi terbangun. Saat bersamaan,
 segala keperluan buku minimum tersedia di perpustakaan. Apalagi dengan 
Dana BOS dapat mengatasi hal ini.
Di sekolah kita belum ada yang sadar, perpustakaan adalah jantung sekolah. Kalaupun ada bukunya dikunci dalam rak-rak. Boleh dijamin kita tidak akan menemukan ensiklopedi di sekolah-sekolah. Selain dari pendidikan nalar, maka sebaiknya juga aspek-aspek kejujuran, kerja keras, team work menjadi penting untuk ditonjolkan. Jika guru mengajarkan anak untuk ujian curang, maka bukan ilmu yang diperoleh anak didik, namun sebuah value yang salah dan menghancurkan masa depan anak. (*)
Elfindri
Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
 
Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
Sumber: Singgalang 16 Desember 2013
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Posting Komentar