Posisi Daya Nalar Anak Kita

Senin, 16 Desember 20130 komentar

Ops… jangan bangga dulu bila anak Anda meraih ranking 1 di kelas, atau NEM-nya sepuluh terbaik di sebuah kota. Kenapa? Kendatipun juara, namun secara internasional, anak-anak Indonesia masuk ke dalam prestasi dua terbawah dalam hal matematika, sains dan bahasa. 

Anak-anak kita sedikit lebih baik dari anak-anak Honduras di Amerika Latin sana, karena posisinya merupakan jurukunci terendah di antara negara-negara yang ikut dalam penilaian hasil belajar mengajar yang diselenggarakan setiap 3 tahun.
 
Negara-negara terbaik, berada pada Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, China, Hongkong, Taiwan dan Singapura. Anak-anak bermata sipit dari sana secara konsisten menempati urutan terbaik semenjak dilakukannya penilaian capaian nilai matematika, sains dasar dan bahasa.
 
Taiwan, China, dan Korea Selatan sejak 1945 prestasi ekonomi sebenarnya hampir sama dengan Indonesia, tapi dalam kurun waktu 50 tahun mereka telah meninggalkan Indonesia di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Salah satu penjelasannya adalah anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang bermutu, dengan metodologi, sequences belajar dan tingkat kompetisi yang tinggi.
 
Pantas saja ketika penulis melakukan perjalanan ke Inggris, menemukan dominasi anak-anak China, Jepang dan Korea di sana. Bahkan ditemukan indikasi anak-anak China kendatipun kemampuan bahasanya Inggrisnya lemah, namun ketika nilai mereka A- mereka akan menangis dan sangat kecewa. Karena nilai yang mereka cari dan merupakan standar A atau A+, sehingga tidak mengherankan akhirnya para pemuncak dunia dalam berbagai bidang ilmu akan lahir dari anak-anak yang dibesarkan di Asia Timur, berbanding terbalik dengan anak-anak Indonesia.

Anak-anak Indonesia merasa paling senang di sekolah dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari negara lain. Senang, karena mereka bisa bermain-main, tanpa adanya persaingan dalam proses belajar mengajar. Mereka juga jarang yang mendapatkan proses belajar yang benar kecuali mereka menambah ilmunya di luar melalui les private dengan segala konsekwensi biaya yang ditimbulkan.
 
Anak-anak kita senang sekolah karena di rumah bosan tidak memiliki teman. Anak-anak kita bahkan sekarang semakin senang ke sekolah ketika mereka diantar dan dijemput oleh orang tua. Mereka berbelanja lebih banyak untuk menggunakan handphone untuk chatting. Tetapi kalau dilihat kamarnya, tidak akan tersedia buku bacaan yang wajib, tidak akan ketemui anak-anak asyik di pustaka untuk mencari ensiklopedi atau membaca cerpen atau sejenisnya.
 
Apalagi jika uang sekolah ditetapkan disertai uang pembangunan, akan terjadi penolakan oleh orang tua murid. Singkat kata dukungan orang tua terhadap pendidikan anak sebenarnya berada pada titik nadir. Orang tua pun suka membeli rokok dibandingkan mengeluarkan uang untuk pendidikan. Buku-buku yang dikarang oleh penulis dan dicetak juga berbagai macam ragam kualitasnya. Buruknya pengelolaan buku selama ini menyebabkan juga persoalan pendidikan kita menjadi lebih buruk.
 
Sebaliknya anak-anak di Korea Selatan, datang ke sekolah, dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Guru-guru bahkan sering mencari bahan baru dan jurnal untuk dibahas di dalam kelas, sehingga dari hari ke hari peserta didik mendapatkan pemahaman yang semakin maju.
 
Dari berbagai laporan menunjukkan, biaya yang dikeluarkan orang tua untuk pendidikan bisa dua kali lebih besar dibandingkan dengan biaya yang disediakan oleh negara.
 
Dari mana memulainya?
 
Sebenarnya akar masalahnya kompleks. Dua di antaranya, guru dan kelembagaanya, kedua sistem dan fasilitas pendukung. Kedua aspek ini mestinya dijadikan sebagai sasaran dimulai gerakan memperbaiki mutu pendidikan.
 
Kita memang bisa sepakat, nalar bukanlah satu satunya tujuan pembelajaran. Karena selain nalar, keterampilan dan pembentukan sikap dan kepribadian penting. Yang lebih penting lagi dari semua itu, anak-anak semakin kuat imannya, semakin kuat ihsannya dan semakin menjalankan agamanya.
 
Persoalan guru mesti dilihat dari akar masalahnya, dari mana dan bagaimana calon guru diseleksi di sekolah-sekolah yang menghasilkan calon guru. Di Belanda, sangat jelas ketentuan yang menyatakan seorang guru matematika mesti mendapatkan nilai A sewaktu mereka mendapatkan pembelajaran di universitas. Masa 6 tahun waktu belajr di pendidikan tinggi memang menjadi dasar minimum diangkatnya seseorang menjadi guru.
 
Di Indonesia semua penyelanggara pendidikan keguruan belum memenuhi standar dosen. Mengingat paling tinggi 20% jumlah dosen mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan yang memenuhi standar dosen (S-3). Universitas LPTK nampaknya mengalami kemunduran, karena larut dalam proses pengajaran sehingga jumlah jam mengajar dosen-dosennya melebihi ambang batas. Sedikit sekali dosennya yang memiliki karya ilmiah dalam memajukan pendidikan. Oleh karenanya yang merasa berteriak dengan kondisi ini adalah pemerhati dan pada umumnya adalah kalangan masyarakat.
 
Saat ini betapa banyak kelembagaan LPTK yang swasta dan negeri overcapacity, menyelenggarakan pendidikandengan dosennya yang minimal. Sebaiknya penataan kelembagaan LPTK menjadi tugas utama dalam reformasi penyediaan guru.
 
Pemetaan kembali guru juga sangat perlu, mereka akan masuk ke dalam setidaknya 4 kategori. Pendidikan belum cukup, pendidikan cukup salah penempatan, pendidikan cukup dan bagus fungsinya, guru tidak layak lagi karena sudah tua atau sakit-sakitan atau jenis lainnya yang menghalangi posisinya. Berbagai penelitian ditemukan guru belum memenuhi standar pendidikan. Ketika ini yang terjadi maka persoalan kemudian, penguasaan ilmu mesti lebih penting dibandingkan penguasaan pedagogi.
 
Pemerintah segera menyiapkan institusi yang benar-benar credible untuk memenuhi kekurangan kompetensi guru ini.Sambil meningkatkan profesionalisme guru, suatu saat sertifikasi guru sebenarnya bagus dikaitkan dengan prestasi pedagogi.Berhenti dengan sendirinya jika belum menguasai. Caranya mudah, di tes lagi.
 
Di samping masalah guru, sekolah-sekolah sebenarnya dapat mewajibkan anak didiknya membaca bahan bacaan selama jenjang SD, SMP sampai ke SMA, sehingga kemampuan membaca anak-anak menjadi terbangun. Saat bersamaan, segala keperluan buku minimum tersedia di perpustakaan. Apalagi dengan Dana BOS dapat mengatasi hal ini.

Di sekolah kita belum ada yang sadar, perpustakaan adalah jantung sekolah. Kalaupun ada bukunya dikunci dalam rak-rak. Boleh dijamin kita tidak akan menemukan ensiklopedi di sekolah-sekolah. Selain dari pendidikan nalar, maka sebaiknya juga aspek-aspek kejujuran, kerja keras, team work menjadi penting untuk ditonjolkan. Jika guru mengajarkan anak untuk ujian curang, maka bukan ilmu yang diperoleh anak didik, namun sebuah value yang salah dan menghancurkan masa depan anak. (*)

Elfindri
Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
 
Sumber: Singgalang 16 Desember 2013
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786