Mentalitas Penyerobot

Rabu, 11 Desember 20130 komentar

Oleh:

HARI Senin, 9 Desember 2013, sekitar pukul 11.30, sebuah rangkaian kereta api komuter jurusan Serpong-Tanah Abang, KRL 1131, menabrak truk pengangkut BBM di pelintasan Pondok Betung, Ulujami, Jakarta Selatan.

Tabung gas langsung meledak, terbakar, membunuh sedikitnya tujuh orang, termasuk masinis dan teknisi kereta api (KA), serta ibu-ibu di gerbong pertama khusus wanita. Sopir dan kernet truk BBM termasuk korban luka-luka.

Peristiwa yang sangat mengerikan: hanya gara-gara truk menyerobot jalur KA. Banyak orang di TV (saksi mata, reporter TV, pakar) mencoba menganalisis kronologi kejadian untuk mencari siapa yang salah. Ada yang menyalahkan palang pintu pelintasan KA yang tidak turun, ada yang menyalahkan pemerintah yang tidak membangun rel bawah tanah atau jalan layang, ada juga yang menyalahkan masinis.

Akan tetapi, jelas: kalau terjadi tabrakan dengan kereta api, yang salah pasti si korban yang membawa kendaraannya di pelintasan KA. Sebab, korban menyerobot hak kereta api.

UU (juga akal sehat) No  22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan, di pelintasan jalan kereta api semua harus berhenti kalau KA akan lewat (Pasal 296 jo Pasal 114 huruf a). Kereta api bukan sepeda ontel yang bisa berhenti seketika itu juga kalau ada hambatan. Kereta api dengan kecepatan 80 kilometer per jam belum tentu bisa berhenti dalam jarak 100 meter kalau direm mendadak.

Tak ada empati
Orang mati karena menyerobot jalan kereta api bukan hanya sekali dua-kali. Hampir setiap hari ada saja yang tewas karena menyerobot jalan kereta api. Mulai dari pejalan kaki, penumpang metromini, pengendara motor, sampai truk BBM. Akan tetapi, tidak ada efek jera sedikit pun.

Maka, jangan heran kalau koruptor juga tidak kunjung jera walau sudah banyak contoh koruptor yang diganjar hukuman tinggi oleh KPK. Mengapa? Karena korupsi adalah perbuatan menyerobot juga, yaitu menyerobot hak orang lain, menyerobot hak rakyat. Bahkan istri atau suami orang juga diserobot (kalau tidak percaya, silakan tonton infotainment). Pokoknya kalau sudah serobot-menyerobot, orang Indonesia paling hobi.

Coba tengok di jalan raya. Pengemudi saling serobot. Kaki lima (jalurnya pejalan kaki) diserobot pengendara sepeda motor dan pedagang. Bahkan, tak jarang pengendara sepeda motor melawan arus alias menyerobot hak pengendara dari arah yang berlawanan.

Demikian pula bantaran sungai dan jalur hijau diserobot untuk permukiman liar. Tanah kosong diserobot untuk tempat tinggal atau tempat usaha walau jelas-jelas ada pemiliknya. Bahkan antrean juga diserobot sehingga di kalangan turis mancanegara, bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang tidak punya disiplin mengantre. Padahal sebenarnya mentalitas orang Indonesia bukan sekadar tidak mau antre, melainkan memang punya hobi jadi tukang serobot.

Inti dari mentalitas tukang serobot ialah tidak adanya tenggang rasa, tidak menghargai hak orang lain, tidak bisa ikut merasakan penderitaan orang lain, tidak mampu bersimpati kepada orang lain, kurang hablum minannas, yang semua itu dalam bahasa psikologi disebut tidak ada empati. Tidak adanya empati ini sudah merasuk ke berbagai sektor kehidupan masyarakat, apalagi di dunia pemerintahan, birokrasi, dan politik. Wujudnya bukan lagi hanya saling serobot, melainkan sudah berupa ego-sektoral, sombong dan congkak (adigang-adigung-adiguna), merasa pintar sendiri, tidak menghargai orang tua/senior, dan lain-lain.

Bangun sistem
Mengurangi mentalitas tukang serobot bukan dengan memberi efek jera karena pasti tak efektif. Yang mesti dilakukan adalah membangun sistem untuk memperkecil kemungkinan perilaku menyerobot.

PT KAI sudah berhasil melenyapkan antrean jelang Lebaran dengan memberlakukan sistem e-tiket. Jalur transjakarta telah disterilkan dengan pengawalan ketat, pemberlakuan denda maksimal, dan publikasi melalui media massa. Kantor samsat (sistem administrasi manunggal satu atap) bebas antrean dan bebas calo sejak diberlakukan pelayanan prima. Wali Kota Surabaya Risma membuat sistem untuk memonitor langsung pegawai-pegawainya dari HP-nya sehingga kalau  ada tender mandek, dia bisa langsung menegur pegawai yang mengurusnya.

Pokoknya jangan menunggu sampai bangsa ini punya empati. Langsung saja dibuat sistem yang tidak memungkinkan perilaku serobot-menyerobot yang egoistik itu terus ”berbiak”.

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila

Sumber: Kompas 11 Desember 2013

Foto: Twitter @sarlitosarwono
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014-2016. Warta Lubeg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger - E-mail: wartalubeg1@telkomsel.blackberry.com - PIN BB 25C29786