Industri perbankan Indonesia menghadapi dua persoalan sekaligus,
yakni masih lambatnya pertumbuhan kredit dan meningkatnya tren kredit
bermasalah. Kedua persoalan itu berpangkal pada satu hal yang sama,
yakni pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Statistik
Perbankan Indonesia Juni 2015 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) pada Selasa (8/9) menunjukkan, total kredit Rp 3.861,17
triliun. Penyaluran kredit itu tumbuh 10,47 persen selama setahun.
Namun, data uang beredar dari Bank Indonesia, pekan lalu, menunjukkan,
kredit pada Juli 2015 hanya tumbuh 9,4 persen per tahun menjadi Rp
3.859,6 triliun.
Inilah kali pertama dalam beberapa tahun terakhir
pertumbuhan kredit bank di bawah 10 persen. Pelambatan pertumbuhan
kredit itu langsung berdampak terhadap pendapatan bunga bank karena
selama ini bank masih bertumpu pada pendapatan dari penyaluran kredit
kepada pihak ketiga.
Pendapatan bunga industri perbankan umum
pada Juni 2015 hanya tumbuh 13,55 persen menjadi Rp 218,556 triliun.
Adapun beban bunga untuk simpanan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 19
persen menjadi Rp 94,761 triliun. Struktur beban bunga DPK bank umum
masih didominasi oleh beban bunga deposito Rp 76,488 triliun. Adapun
beban bunga giro hanya Rp 7,1 triliun dan beban bunga tabungan Rp 11,13
triliun.
Di tengah pelambatan pertumbuhan kredit, bank masih
menghadapi persoalan lain berupa meningkatnya rasio kredit bermasalah
terhadap kredit yang disalurkan kepada pihak ketiga. Per Juni 2015,
total kredit macet (NPL) pada penerima berbentuk lapangan usaha dan
bukan lapangan usaha mencapai Rp 97,959 triliun atau sekitar 2,55 persen
dari total kredit yang disalurkan bank umum kepada pihak ketiga bukan
bank sebesar Rp 3.828 triliun.
NPL sebesar 2,55 persen secara gross
itu memang masih lebih kecil ketimbang batas aman yang ditentukan,
yakni 5 persen. Namun, naiknya NPL membuat regulator dan bank perlu
waspada.
Kredit bermasalah itu terjadi karena debitor bank
mengalami gangguan arus kas yang disebabkan oleh kelesuan ekonomi. Dalam
dua triwulan I-2015, produk domestik bruto (PDB) hanya tumbuh 4,72
persen dan 4,67 persen.
Selama ekonomi tumbuh melambat, sektor
riil mengalami tekanan karena permintaan berkurang, sementara biaya
input produksi justru meningkat karena rupiah terdepresiasi. Industri
manufaktur Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor sehingga
pelemahan nilai tukar rupiah yang mencapai Rp 14.285 per dollar AS akan
meningkatkan biaya pembelian bahan baku.
OJK sebagai regulator
bank merespons pelambatan pertumbuhan ekonomi itu dengan merelaksasi
kebijakan restrukturisasi kredit. Relaksasi itu tertuang dalam Peraturan
OJK Nomor 11/POJK.03/2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka
Stimulus Perekonomian Nasional bagi Bank Umum. Adapun relaksasi
kebijakan restrukturisasi bank syariah diatur dalam Peraturan OJK Nomor
12/POJK.03/2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus
Perekonomian Nasional bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Melalui
ketentuan itu, syarat restrukturisasi cukup dengan memperhatikan
kemampuan pembayaran cicilan debitor. Dengan syarat ini, bank bisa
lebih dini melakukan restrukturisasi sehingga kredit yang sudah
disalurkan tidak berubah menjadi kredit macet.
Selain mengurangi
potensi terjadinya kredit macet, restrukturisasi lebih dini akan
menyebabkan bank bisa mengurangi alokasi cadangan kerugian penurunan
nilai (CKPN) atau provisi. Hal ini terjadi karena bobot risiko yang
harus dihitung bank menjadi lebih kecil dari sebelumnya.
Tahun
ini dinilai merupakan tahun yang cukup berat bagi bank. Namun, bank
diharapkan dan diupayakan tetap stabil agar perekonomian nasonal
terjaga. (A Handoko)
Sumber: Kompas 9 September 2015
Posting Komentar