Kita memang sedih bercampur prihatin melihat video anak-anak SD yang
menyakiti teman satu kelasnya secara beramai-ramai. Tapi kita tidak
bisa menyalahkan seseorang. Itulah potret sebagian anak-anak kita
sekarang. Mulai terbiasa dengan perilaku yang buruk, kata-kata kotor,
tidak jujur, berbohong, menipu dan bahkan kekerasan serta narkoba.
Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa pihak sekolah dan guru tidak pernah
sama sekali mengajarkan mereka melakukan tindak kekerasan tersebut.
Malah sebaliknya, setiap hari guru masuk ke dalam kelas, pasti
senantiasa mengajarkan kebaikan kepada mereka. Tetapi mengapa ini
hasilnya?
Pertanyaannya adalah, siapah guru mereka yang
sebenarnya? Siapakah yang telah mewarnai bahkan mempengaruhi otak dan
fikiran mereka sehingga berani berbuat begitu?
Guru mereka adalah
yang paling sering menarik perhatian mereka. Yang paling berkesan dalam
benak dan akal mereka. Yang paling dominan mempengaruhi jiwa dan
fikiran mereka. Apa dan siapakah itu? Dianya adalah segala apa yang
sering mereka saksikan dan mereka lihat. Bukan apa yang mereka dengar.
Sebab apa yang dilihat jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang
didengar.
Guru bila mengajar dan membicarakan kebaikan di depan
anak-anak didiknya, lalu kemudian anak-anak didik juga menyaksikan
kebaikan itu hadir dalam perilaku dari para guru dan orang-orang
disekitarnya, maka pastilah nilai-nilai kebaikan tersebut akan sangat
mempengaruhi mereka. Berbekas di hati mereka dan kemudian ringan bagi
mereka untuk mengamalkannya.
Akan tetapi, bila guru menyampaikan
nilai-nilai kebaikan kepada mereka, lalu kemudian mereka tidak
menyaksikan kebaikan itu hadir dalam perilaku keseharian, baik oleh guru
apalagi masyarakat sekitarnya, maka nilai-nilai kebaikan itu tidak
pernah mempengaruhi mereka dan tak akan berubah dari teori menjadi
perilaku mereka.
Apalagi kalau kemudian di tengah masyarakat
justru mereka mendapatkan perilaku sebaliknya, yang jauh dari nilai dan
akhlak mulia. Maka apa yang mereka lihat dilingkungan inilah yang
kemudian mewarnai perilaku mereka, bukan apa yang dikatakan oleh guru di
depan kelas.
Bahayanya sekarang, lingkungan mereka bukan lagi
lingkungan kecil yang ada disekitar rumah atau tempat tinggal mereka
saja. Lingkungan mereka telah menjadi sangat luas melewati batas-batas
teritorial kota, kabupaten, provinsi bahkan negara. Dengan adanya media,
dunia menjadi kecil. Sehingga mereka sekarang menyaksikan beragam
perilaku dari berbagai tempat. Diwaktu yang sama kontrol dan pengawasan
dari berbagai pihak, orang tua, sekolah dan pemerintah sangat lemah.
Sementara apa yang dipertotonkan media kepada khalayak, dengan penuh
kejujuran, sangat minim dengan nilai dan penanaman karakter.
Film-film kekerasan, drama dan sinetron cinta pengumbar syahawat,
pergaulan bebas, iklan-iklan kecantikan, peristiwa pembunuhan, hamil
diluar nikah, agenda hura-hura malam mingguan, idola-idolaan dan lain
sebagainya. Semuanya menjadi makanan harian anak-anak kita. Belum lagi
game-game online dengan berbagai jenisnya yang tersebar di berbagai
warnet sampai ke pelosok negeri. Seberapalah lagi pengaruh guru di depan
kelas untuk membentuk karakter anak? Apalagi kalau gurunya di sekolah
tidak terlatih, kompetensi pedagogiknya lemah, kurang pandai dan tidak
menarik dalam mengajar, kompetensi kepribadian dan sosialnya tak pernah
disiapkan apalagi disertifikatkan. Pastilah mayoritas yang mereka
pelajari akan kalah dan habis oleh apa yang mereka tonton dan saksikan
setiap hari.
Guru anak-anak kita adalah lingkungannya, apa yang
mereka saksikan disekitarnya dan apa yang sangat menarik perhatiannya.
Dan sedihnya, hari ini anak-anak kita telah kehilangan figur-figur
teladan yang dapat mereka contoh dan mereka tiru, yang dapat mereka
jadikan “guru”.
Sumber: FB Irsyad Syafar
Posting Komentar