Gaung polemik penundaan izin penggunaan jilbab bagi petugas polisi
wanita (polwan) tak hanya di Tanah Air. Sejumlah media di luar negeri
dan komunitas Muslim Indonesia mengamati lekat pem- beritaan tersebut.
Terkait hal itu, wartawan Republika, Fitriyan Zamzami, mewawancarai
Ketua Masyarakat Muslim di New York Syamsi Alimelalui surat elektro -
nik. Berikut petikan wawancara dengan putra asli Sulawesi Selatan yang
juga dipercaya oleh New York Police Departement (NYPD) sebagai penasihat
terkait isu-isu menyangkut Muslim itu.
Bagaimana kebijakan soal peng gunaan jilbab oleh anggota kepolisian
Muslimah yang bertugas di NYPD setahu Ustaz? Apakah ada pembatasan
seperti yang diterap- kan Polri di Tanah Air?
Amerika Serikat adalah negara sekuler, tapi sekaligus negara yang
menjamin hak dasar semua pen- duduknya untuk menjalankan aga - ma sesuai
dengan keyakinan ma - sing-masing. Meyakini dan menja - lankan
keyakinan adalah hak setiap orang yang dijamin oleh konstitusi negara.
Oleh karenanya, jika jilbab diyakini sebagai kewajiban agama,
menjalankannya tidak lagi diper- tanyakan karena itu adalah imple-
mentasi dari sebuah jaminan kon- stitusi.
Oleh karena itu, sejak lama wa - nita-wanita Muslimah di kepolisian New
York yang memutuskan mema - kai jilbab tidak pernah dipermasa - lah kan.
Bahkan, setelah 11 Septem - ber (2001) sekalipun fenomena itu semakin
berkembang. Hingga saat ini, belum pernah saya dengar ada pembatasan,
apalagi pelarangan.
Jika tak ada pembatasan, ba - gaimana tanggapan atau perasaan Ustaz
mengetahui bahwa justru di Tanah Air para polwan Muslimah masih
dibatasi?
Ketika mendengar adanya pela - rangan, dan itu mengejutkan saya, saya
mempertanyakan motif pela - rang an/pembatasan itu. Pertama, karena
Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Seharus - nya,
pemimpinnya paham bahwa bagi wanita Muslimah jilbab menjadi sebuah
kewajiban dan karenanya tidak ada hak manusia melarangnya.
Kedua, saya tahu bahwa UUD negara Indonesia memberikan ke - be basan
beragama atau keyakinan dan hak bagi semua penganut aga - ma untuk
menjalankannya agama - nya tersebut.
Oleh karena memakai jilbab ada - lah kewajiban agama, melarangnya
seharusnya dilihat sebagai tindakan yang melanggar UU kenegaraan.
Selain itu, memakai jilbab bagi yang meyakini kewajibannya adalah hak asasi manusia. Jadinya bisa jadi isu HAM.
Sebagai penasihat kepolisian, apakah Ustaz menilai polwan yang berjilbab
bisa memiliki nilai tambah saat berhubungan dengan komuni-
tas-komunitas di masyarakat?
Iya tentu. Memakai jilbab itu kan bukan model, tapi ekspresi keber-
agamaan seseorang. Oleh karena - nya, ketika memakai jilbab, maka polwan
akan lebih dihormati karena seharusnya pemakai jilbab itu punya harga
diri dan kehormatan yang terjaga. Di AS, misalnya, polwan yang berjilbab
akan lebih dihormati karena tidak dilihat sebagai wanita biasa dan bisa
digoda.
Apa yang harus dilakukan Polri menanggapi tuntutan dari banyak polwan Muslimah yang merindukan bisa mengenakan jilbab?
Saya kira seharusnya Polri me - mahami bahwa itu adalah kewajiban agama
mereka yang ingin memakai - nya. Siapa Polri untuk melarang orang
menjalankan agamanya? Se - lain itu kandijamin oleh UUD ne - gara. Bagi
saya ini aneh. Kenapa ins - titusi negara bisa mengeluarkan kebijakan
yang justru kontra dengan UUD negara? Akhirnya, jangan sam- pai
Indonesia sebagai negara mayo - ritas Muslim, tapi ketika akan men-
jalankan agamanya, mereka diper- lakukan layaknya minoritas.
Sumber: Republika 11 Desember 2013
Foto: FB Shamsi Ali
Posting Komentar