Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Ketika mendengar kabar Nelson Mandela me - ninggal dunia, bukan hanya
penduduk di Afrika Selatan saja yang bersedih, masyarakat dunia pun ikut
berkabung. Mereka, para warga dunia, mulai dari ujung barat ke ujung
timur serta dari selatan ke utara menyatakan kesedihannya. Mereka merasa
ke- hilangan seorang tokoh teladan. Beberapa pemimpin dunia
memerintahkan mengerek bendera setengah tiang sebagai penanda hari
berduka.
Sejumlah pemimpin dunia meyatakan akan terbang langsung ke Johannesburg
untuk menghadiri pemaka- man Mandela, termasuk Presiden Amerika Serikat
Barack Obama dan dua presiden pendahulunya, George W Bush dan Bill
Clinton. Presiden Rusia, Putin, juga di - ka barkan akan menghadiri
pemakaman tokoh yang se- lalu memakai batik Indonesia ini.
Rasa kehilangan masyarakat dunia yang begitu besar terhadap kematian
Mandela (Nelson Rolihlahla Mandela) membuat saya penasaran. Saya pun
teringat pelajaran di pesantren dulu. `\'Wannasu alfun minhum kawahidin.
Wawahidun kal alfi in amru `ana,\'\' kata ustaz saya. Artinya kira-kira
begini: Manusia seribu di antara mereka seperti satu. Dan satu orang
seperti seribu apabila ia menaruh perhatian (terhadap yang seribu ini).
Guru yang lain menyampaikan, manusia yang besar itu akan kelihatan
kebesarannya justru ketika ia sudah meninggal dunia. Ustaz lainnya
menjelaskan sebuah hadis Rasulullah SAW yang mengatakan sebaik-baik ma -
nusia adalah yang panjang umur nya dan disertai dengan banyak amal
saleh, dan sebu- ruk-buruk orang adalah yang panjang umurnya dan buruk
perilakunya. `\'Karena itu doa umur panjang hanya dibo leh - kan bila
diikuti dengan doa ba nyak amal soleh,\'\' ujar ustaz.
Mandela jelas tidak per- nah mesantren. Namun, menilik sejarah panjang
kehi - dupannya, tampak betul dalam kehidupan sehari-ha- rinya ia
mengamalkan nilai-nilai dan ajaran yang biasa diberikan para ustaz dan
kiai kepada para santrinya.
Simaklah riwayat hidupnya. Mandela bukan tipe pendendam. Ketika dilantik
menjadi presiden Afrika Selatan (periode 1994-1999), Mandela mengundang
orang-orang kulit putih yang dulu memenjarakannya selama 27 tahun
sebagai tamu kehormatan. Ia me ne - rima mereka dengan hangat dan ramah.
Ia memaaf - kan sebelum mereka meminta maaf.
Banyak orang yang menyebut dirinya sebagai pe- juang. Banyak yang
menjadi pemberani melawan se- buah rezim kekuasaan yang lalim. Banyak
pula yang menderita siksaan psikis maupun fisik selama dalam penjara.
Namun, sangat jarang dari mereka yang ke- mudian menjadi pemimpin
nasional yang negarawan seperti Mandela. Yang terakhir ini telah
mengalami siksaan dari yang ringan hingga yang berat. Bisa saja ketika
berkuasa ia kemudian membalas dendam, menjebloskan ke penjara siapa pun
mereka yang per- nah menjadi lawan politiknya. Namun, dengan kebe- saran
hati, Mandela memaafkan siapa saja yang pernah menyebabkannya menderita
bertahun-tahun dalam penjara.
Sebagai sarjana hukum, bisa saja Mandela mem- bangun masa depan yang
enak sebagai pengacara. Ia juga bisa bekerja sama dengan rezim penguasa.
Tapi, Mandela lebih memilih berjuang untuk rakyat yang menderita karena
politik apartheid kulit putih. Ia juga tidak gentar menghadapi sidang
pengadilan yang mengancamnya hukuman mati. Beberapa kali ia ditawari
pembebasan dengan syarat mau bekerja sama dengan penguasa. Namun,
berkali-kali pula ia menolak pembebasan bersyarat. Ia hanya mau pem-
bebasan tanpa syarat apa pun. Kebebasan yang ke- mudian ia dapatkan
setelah mendekam dalam penjara selama 27 tahun.
Bagi Mandela, negara dan bangsanya adalah nomor satu. Tidak lebih dan
tidak kurang. Tidak peduli ketika ia harus ditinggalkan istrinya yang
cantik. Tidak peduli juga ketika teman-teman seperjuangannya mening-
galkannya satu per satu lantaran perbedaan pandangan politik dan
ideologi. Tidak peduli pula ia dikecam teman-teman separtainya ketika ia
menolak untuk dip- ilih menjadi presiden untuk periode kedua. Penolakan
yang dimaksudkan untuk pendidikan politik buat gen- erasi yang akan
datang, bahwa sebuah negara harus mengedepankan sistem. Sistem yang
berlandaskan un- dang-undang dan hukum. Bagi Mandela, sebuah nega - ra
tidak boleh hanya dikendalikan seseorang. Penguasa tidak boleh maruk dan
berkuasa sepanjang umurnya be tapa pun berjasanya dia.
Apa yang dilakukan Mendela, termasuk hanya mau menjadi presiden dalam
satu periode, adalah untuk memberi contoh. Bukan hanya untuk Afrika Se-
latan, tapi juga untuk negara-negara lain, terutama di Benua Afrika.
Sejumlah pihak meramalkan bahwa negara-negara di Benua Hitam itu akan
mengalami kekacauan politik setelah merdeka dari penjajahan.
Me reka memprediksi akan terjadi perebutan kekuasa- an yang berdarah di Afrika.
Mandela ingin membuk- tikan bahwa perkiraan me - reka, terutama
masyarakat Barat, adalah salah. Man- dela membuktikan diri bah - wa
orang-orang Afrika bisa berbangsa dan bernegara dengan benar. Terbukti
ke- mudian bahwa setelah Mandela tidak lagi menjadi presiden, Afrika
Selatan pun menjadi negara yang de - mokratis. Pergantian penguasa
berjalan normal.
Bahkan, banyak negara di Afrika yang kemudian mengikuti jejak Afrika Selatan yang demokratis.
Bagi Mandela, berkhidmat untuk bangsa, negara, dan kemanusiaan pada
umumnya tidak harus menjadi penguasa. Pemimpin adalah sepanjang masa.
Man- dela telah membuktikan semuanya. Ia menjadi pe - mimpin melawan
politik apartheid ketika muda, ia tetap memimpin dari balik jeruji
penjara. Ketika men- jadi presiden, ia fokus untuk menghapus pengaruh
apartheid dengan memberantas rasisme, kemiskin - an, dan mendorong
rekonsiliasi rasial serta sosial.
Mandela juga tetap sebagai pemimpin ketika tidak lagi menjabat sebagai
presiden. Pemimpin yang mengilhami dan menggerakkan bangsa. Ia pun aktif
di lembaga-lembaga amal untuk memberantas kemiskin - an dan HIV/AIDS
melalui Yayasan Nelson Mandela.
Dengan aktivitas kemanusiaannya itu, pengaruh Man- dela pun sudah lintas
batas. Lebih dari 250 penghar- gaan telah ia terima, termasuk Hadiah
Nobel untuk Perdamaian pada 1993, Medali Kebebasan Presiden Amerika
Serikat, dan Order of Lenin dari Uni Soviet.
Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip per - kataan Ibnu Duraid
al-Azdy (wafat 321 H), `\'Wainnama al mar-u haditsun ba\'dahu. Fakun
haditsan hasanan liman wa\'aa.\'\' Arti bebasnya kira-kira begini,
`\'Manusia itu diukur dari pengaruh setelah ia meninggal dunia.
Maka berilah pengaruh yang baik semasa hidup.
Sumber: Republika 9 Desember 2013
Posting Komentar